KEI - NUHU EVAV

07.04


 

Geografi

Penduduk setempat menyebut kepulauan ini Nuhu Evav ("Kepulauan Evav") atau Tanat Evav ("Negeri Evav"), tetapi dikenal dengan nama Kei atau Kai oleh penduduk dari pulau-pulau tetangga. "Kai" sebenarnya adalah sebutan dari zaman kolonial Hindia Belanda, dan masih digunakan dalam buku-buku yang ditulis berdasarkan sumber-sumber lama. Kepulauan ini terletak di selatan jazirah Kepala Burung Irian Jaya, di sebelah barat Kepulauan Aru, dan di timur laut Kepulauan Tanimbar.
Kepulauan Kai terdiri atas sejumlah pulau, di antaranya adalah
(Setelah Pemekaran Kota Tual tahun 2008 sebagai Kota Administratif, maka Pulau Dullah, Pulau Kuur, Pulau Taam dan tayando menjadi daerah Kota Tual, sedangkan Pulauh Kei Kecil, Kei Besar, Tanimbar kei menjadi Daerah Kabupaten Maluku Tenggara (Kabupaten Induk) dengan Ibukota Kabupaten Langgur (Terletak di pulau kei kecil). Sejak 1 Januari 2010 Pusat pemerintah kabupaten maluku tenggara resmi berada di langgur walaupun penyerahan aset kabupaten ke pemerintah kota tual baru dilaksanakan tanggal 23 januari 2010)
Selain itu masih terdapat sejumlah pulau kecil tak berpenghuni. Total luas area daratan Kepulauan Kai adalah 1438 km² (555 mil²).
Kei Besar bergunung dan berhutan lebat. Kei Kecil datar dan memiliki populasi terbanyak. Pulau ini sebenarnya merupakan sebuah pulau koral yang terangkat ke permukaan laut. Ibukota kepulauan ini adalah Kota Tual, yang mayoritas warganya beragama Islam. Tak jauh dari Tual terletak Langgur yang merupakan pusat bagi warga Kristiani. Kei termasyhur berkat keindahan pantai-pantainya, misalnya pantai Pasir Panjang.
Kepulauan Kai merupakan bagian dari daerah Wallacea, kumpulan pulau-pulau Indonesia yang dipisahkan oleh laut dalam dari lempeng Benua Asia maupun Australia, dan tidak pernah tersambung dengan kedua benua tersebut. Sebab itu, hanya terdapat sedikit jenis mamalia lokal di Kepulauan Kai.

Sejarah

Prasejarah

Tom Goodman bersama tim ekspedisi Duyikan dari Universitas Hawaii adalah salah satu dari beberapa ilmuwan asing yang meneliti gua kuno Ohoidertavun yang berada pada ketinggian sekitar 15 meter dari permukaan laut di Kei Kecil. Di sekitar gua kuno ini ditemukan dinding batu sepanjang 200 meter yang terukir apik dengan beragam gambar dan lukisan/tulisan kuno. Lukisan kuno yang terpajang di dinding goa Ohoidertavun menggambarkan beragam kehidupan masyarakat di masa lampau dalam kaitannya dengan alam sekitarnya seperti matahari, bulan, dan bintang, serta perahu sebagai sarana transportasi, kehidupan fauna dan flora, bahkan lukisan topeng. Pada situs tersebut juga tergambar lukisan mengenai seni tari gembira sebagai ungkapan syukur yang lebih terfokus pada kehidupan religius. Lukisan di dinding goa Ohoidertavun mengekspresikan tingginya kebudayaan bangsa Indonesia pada ribuan tahun silam yang memiliki spesifikasi yang serupa dengan karya lukisan masyarakat asli Papua dan Australia. Adanya kemiripan sejarah dan budaya ini mengundang perhatian khusus Direktur/Produser Film dari Australia, Marcus Gillezeau untuk mengabdikannya dalam film dokumenter untuk disebarluaskan ke seluruh dunia guna mengundang semakin banyak ilmuwan, wisatawan, dan petualang berkunjung ke daerah rempah-rempah ini, yang pernah kesohor di masa lalu.
Apa yang ditemukan di goa Ohoidertavun merupakan sesuatu yang tergolong langka, unik, dan luar biasa menarik untuk diteliti dan dikaji, ungkap Marcus. Karenanya perlu diangkat ke permukaan untuk dipromosikan karena lukisan tangan para leluhur yang tergolong langka di tebing batu setinggi 24 meter itu secara antropologi mengisyaratkan adanya semacam kesamaan hubungan keturunan antara suku asli Kepulauan Kei dengan penduduk asli Australia.

Sejarah Lisan

Penduduk Kepulauan Kei hampir tidak memiliki catatan sejarah tertulis. Sebaliknya mereka memiliki Tom-Tad, yakni hikayat-hikayat lisan yang disertai dengan benda-benda warisan tertentu sebagai penjamin keontentikan hikayat itu. Sebagian besar hikayat ini dibumbui dongeng atau lambang-lambang, akan tetapi dianggap sepenuhnya benar secara harafiah oleh pribumi kepulauan ini pada umumnya.
Menurut hikayat setempat, leluhur orang Kei berasal dari Bal (Bali), wilayah kerajaan Majapahit di kawasan Barat Nusantara. Konon dua perahu utama berlayar dari pulau Bali, masing-masing dinahkodai oleh Hala'ai Deu dan Hala'ai Jangra. Setibanya di kepulauan Kei, dua perahu ini berpisah. Perahu rombongan Jangra menepi di Desa Ler-Ohoylim, pulau Kei Besar, dan perahu rombongan Deu berlabuh untuk pertama kalinya di Desa Letvuan, Pulau Kei Kecil.
Letvuan dijadikan pusat pemerintahan, tempat dikembangkannya hukum adat Larvul Ngabal (Darah merah dan tombak Bali) atas gagasan Putri Dit Sakmas. Bukti hubungan dengan Bali ini di Kei kecil mencakup beberapa benda warisan dan sebuah tempat berlabuh yang dinamakan Bal Sorbay (Bali-Surabaya), yakni tempat perahu keluarga kerajaan itu dulu berlabuh.
Hala'ai Jangra dan Hala'ai Deu adalah gelar, bukan nama diri. Nama asli mereka tidak lagi diketahui. Sebagian pemuka adat Kei mengatakan bahwa nama asli Hala'ai Deu adalah Esdeu, ada yang mengatakan Kasdeu, ada pula yang berpendapat bahwa nama sebenarnya adalah Sadeu, atau Sadewa, atau pun Dewa.
Selain Bali, orang Kei yakin bahwa negeri-negeri asal leluhur mereka mencakup Sumbau (Pulau Sumbawa), Vutun (Buton), Seran Ngoran (Pulau Seram dan Gorom di Maluku Tengah), serta Dalo Ternat (Jailolo dan Ternate).

 Zaman modern

Pulau kecil Tanimbar-Kei bukanlah bagian dari Kepulauan Tanimbar, melainkan bagian dari Kepulauan Kai dan berpenghuni kurang dari 1000 jiwa, warganya sangat tradisional. Setengah dari populasi pulau ini mengaku beragama Hindu, namun kenyataannya mereka mempraktekkan pemujaan leluhur, yakni sistem religi asli Kepulauan Kai.
Pada tahun 1999 pecah kerusuhan antara warga Muslim dan Kristiani di Kota Ambon yang kemudian merambat pula ke Kepulauan Kai, akan tetapi dengan cepat mereda serta tidak banyak menelan korban jiwa.

Bahasa

Ada tiga bahasa rumpun austronesia yang dipertuturkan di Kepulauan Kai; Bahasa Kei (Veveu Evav) adalah yang paling luas pemakaiannya, yakni di 207 desa di Kei Kecil, Kei Besar, dan pulau-pulau sekitarnya. Penduduk Pulau Kur dan Kamear menggunakan Bahasa Kur (Veveu Kuur) dalam percakapan sehari-hari, Bahasa Kei mereka gunakan sebagai lingua franca. Bahasa Banda (Veveu Wadan) digunakan di desa Banda Eli (Wadan El)dan Banda-Elat (Wadan Elat) di bagian barat dan Timur Laut Pulau Kei Besar. Para Pengguna Bahasa Banda berasal dari Kepulauan Banda, tempat di mana bahasa itu tidak lagi digunakan. Bahasa Kei tidak memiliki sistem tulisan sendiri. Para misionaris Katolik dari Belanda menuliskan kata-kata Bahasa Kai dengan suatu bentuk variasi penggunaan abjad Romawi.

Kosa Kata

Beberapa kata dalam Bahasa Kei memiliki fonem V (seperti V pada Via dalam Bahasa Latin) yang berbeda dengan fonem F dan P. Penduduk wilayah Utara Pulau Kei Besar membedakan fonem R seperti pada kata Rata dalam Bahasa Indonesia, dengan fonem R seperti pada français /fʁɑ̃ sɛ/ dalam bahasa Perancis. Meskipun demikian, dalam bentuk tertulis, kedua fonem ini tidak dibedakan.
Kosa kata Bahasa Kei modern mencakup banyak kata serapan dari banyak bahasa lain terutama Bahasa Melayu. Sebagian besar adalah nomina, yakni nama beberapa benda yang baru dikenal masyarakat Kepulauan Kei pada akhir abad ke-19. Kata-kata yang memiliki huruf P dan G dapat dipastikan merupakan kata serapan, karena kedua fonem tersebut tidak dikenal dalam kosa kata Bahasa Kei asli.
Contoh beberapa kata serapan :
  • Gur = Guru
  • Agam, Angam, Ayngam = Agama
  • Masikit = Masjid
  • Pen = Pena

 Ucapan Salam

  • Fel be / Fel be he : Apa khabar?
  • Bok át / Bok bok wat: Baik-baik saja

Peribahasa

  • Adat en'ot rat na'a dunyai : Adat menciptakan raja di dunia, artinya terhormat atau tidaknya seseorang bergantung pada perilaku dan tutur katanya.
  • Vu'ut ain mehe ngivun ne manut ain mehe ni tilur : Telur dari satu ekor ikan saja, dan telur dari satu ekor ayam belaka; artinya semua orang itu pada hakikatnya bersaudara, laksana banyak telur yang berasal dari satu ekor ikan atau satu ekor ayam saja. ini merupakan peribahasa yang paling terkenal di daerah kai.
  • Sar Sangongo weat yaf: Laksana ngengat menggoda api; pepatah ini adalah peringatan halus bagi para pemberani yang suka bermain-main dengan bahaya.
  • Lakur roa loat nangan: Ikan kakatua di laut, belut di darat; artinya mudah untuk berbicara tetapi sulit untuk dilaksanakan (oleh: Chres Balubun, Ohoi-El, Kei Besar)
  • Flor nit sob Duad, hoar taup lai you : menyembah Tuhan sambil penghormatan terhadap Leluhur yang sudah tiada (oleh: Chres Balubun, Ohoi-El, Kei Besar)
  • Lar nakmot na ivud: (Biarkan) darah tergenang di perut; kalimat ini merupakan peringatan untuk tidak mengeluarkan darah dari tubuh sesama manusia (leluhur Evav beranggapan bahwa tempat darah di dalam tubuh adalah di perut). Kalimat ini juga merupakan salah satu pasal hukum adat Evav yang mengutuk semua tindak kekerasan, biang keladi pertumpahan darah.
  • Teen fo teen, yanat fo yanat: Orang yang tua tetap menjadi orang yang tua, anak tetap menjadi anak. Artinya, orang yang tua hendaknya bertindak sebagaimana seharusnya mereka bertindak, sedangkan tuntutan bagi seorang anak adalah menghormati orang yang tua dalam sikap, tutur kata dan perbuatannya. Seorang anak harus memposisikan diri sebagai seorang anak di hadapan orang yang tua (Dimas Remetwa, di Manado)
  • Toil u ne savak mur: Menatap ke depan dan menoleh ke belakang; manusia mesti senantiasa mengupayakan masa depan yang lebih baik sambil belajar dari pengalaman di masa lampau.
  • Omwal vuan fo ler, ler fo vuan af ken nablo entub ni wai entau ni wain: Engkau membalik bulan menjadi matahari, matahari menjadi bulan, hal yang benar dan lurus akan tetap berada pada tempatnya (Neny Remetwa di Manado)

Hukum Adat Evav

Secara lengkap hukum adat Evav yang disebut Larvul Ngabal itu terdiri atas tujuh pasal, yaitu:
  1. Ud entauk atvunad (kepala kita bertumpuh pada leher kita) maknanya, atasan (Yang Tertinggi, pemimpin, orang-tua) melindungi bawahan (manusia, rakyat, anak) menjunjung atasan.
  2. Lelad ain fo mahiling (leher kita diluhurkan) maknanya, hidup manusia diluhurkan.
  3. Ul nit envil atumud (kulit membungkus tubuh kita) maknanya, harkat martabat manusia dihormati.
  4. Lar nakmot ivud (darah berdiam di perut kita) maknanya, keselamatan manusia dilindungi.
  5. Rek fo mahiling (Ambang batas kamar diluhurkan) maknanya, batas-batas kesusilaan (kehormatan wanita) diluhurkan.
  6. Moryain fo kelmutun (tempat tidur keluarga dimurnikan) maknanya, perkawinan (kehormatan rumah-tangga) dimurnikan.
  7. Hira ni tub fo ni, it did tub fo it did (miliknya tetap menjadi miliknya, milik kita tetap menjadi milik kita) maknanya, hak milik seseorang (kaum) diakui dan dihormati.
Pasal 1, 2, 3 dan 4 disebut juga hukum adat Navnev (hukum kehidupan), pasal 5 dan 6 disebut juga hukum adat Hanilit (hukum kesusilaan), dan pasal 7 disebut hukum adat Hawear Balwirin )hukum keadilan sosial). Ketiga tema hukum itu (Navnev, Hanilit dan Hawear Balwirin) masing-masing dilengkapi dengan tujuh pasal larangan hukum adat, yang disebut Sa Sor Fit (tujuh lapis kesalahan/pelanggaran). Beno Mairuma di Surabaya

Perekonomian

Kepulauan Kei dianugerahi terumbu karang yang produktif dan berlimpah, dikelilingi laut yang dalam. Seperti kebanyakan masyarakat Maluku, mata pencaharian orang Kei merupakan suatu kombinasi dari kegiatan bercocok-tanam, berburu, dan menangkap ikan di perairan sekitar pantai. Karena Kepulauan Kei tidak menghasilkan rempah-rempah ataupun komoditas yang bernilai tinggi lainnya selain kayu, perahu dan teripang, maka Kei luput dari perhatian pedagang dan kolonialis Barat sampai dasawarsa terakhir abad ke-19. Ikan dan kerang berlimpah ruah di laut sekitar Kepulauan Kei. Menangkap ikan adalah aktivitas sekunder; keluarga-keluarga umumnya menghabiskan lebih banyak waktu untuk bercocok tanam. Warga desa menangkap ikan dengan menggunakan perangkap ikan, kail, lembing, dan jala, atau dengan mengumpulkan ikan-ikan yang terjebak di terumbu karang dan ceruk-ceruk pantai pada saat air laut surut. Sejak tahun 1980an, banyak nelayan mulai menggunakan jaring nilon dan motor tempel. Beberapa warga desa memperdagangkan sebahagian hasil panen atau tangkapannya kepada para tengkulak atau di pasar-pasar kota Tual dan Elat. Sumber pendapatan tunai lainnya mencakup penjualan kopra dan cangkang kerang lola (Trochus niloticux), usaha dagang eceran, sumbangan dari anggota keluarga di rantau, dan gaji pegawai negeri.
Selain daripada Teripang, terdapat pula LOLA yang merupakan hasil laut di kepulauan Kei. Hrga LOLA perkilonya bisa mencapai 50ribu rupiah..(by: CHRES BALUBUN, Ohoi-El,Kei Besar)

 Seni Budaya

 Alat Musik

Alat musik tradisional di Kepulauan Kai adalah:
  • Savarngil (Suling): Seruling kecil lokal sepanjang 4 sampai 8 inci, terbuka di kedua ujung, memiliki enam lubang tempat jari, terbuat dari bambu, dan tanpa kunci nada.
  • Tiva (Gendang): Terdiri atas selembar membran dari kulit sapi yang direntangkan erat-erat menutupi salah satu ujung dari sebuah wadah yang berlubang.
  • Dada (Gong): Alat musik tabuh dengan jari-jari 12 sampai 15 inci, terbuat dari tembaga atau besi dengan tonjolan di bagian tengah.

 Tarian

Sosoy Temar-Rubil (Tarian Perang) yang penuh semangat hanya ditarikan oleh kaum pria, sementara tarian yang lembut seperti Sosoy Kibas (Tari Kipas) hanya ditarikan oleh kaum wanita. Gerakan-gerakan yang tidak terlampau lembut maupun beringas hanya terdapat dalam Sosoy Sawat (Tarian Pergaulan) dan Sosoy Yarit (Tarian Umum), dan oleh karenanya dapat ditarikan baik oleh pria maupun wanita. Gerak-gerik yang agung dan lemah-lembut diijinkan dalam tarian pria seperti dalam Sosoy Swar Man-Vuun (Tarian Penghormatan), namun gerak-gerik yang cepat dan lincah tidak terdapat dalam tarian wanita. Tarian asli Kei umumnya diciptakan untuk tujuan penghormatan, sehingga jarang ditarikan oleh anak-anak. Hanya orang dewasa dan remaja akil-balig yang diikutsertakan. Bahkan sosoy Swar Man-Vuun yang dipentaskan di haluan "Bilan" (Perahu Kebesaran) dulunya hanya ditarikan oleh pria yang sudah berkeluarga.
Penari wanita di kepulauan Kei juga menggunakan Kipas, Yerikh (Daun lontar yang dikeringkan) dan Penari Pria dapat menggunakan panah, parang, Tombak dan juga bulu Kasuari dan diikatkan pada ujung tongkat berukuran kurang lebih 10 cm.
Seperti di banyak tempat di Kepulauan Maluku, sejak zaman kolonial, orang Kei mengenal pula dansa ala Eropa, dan kaum mudanya saat ini tidaklah jauh tertinggal dalam seni tari kontemporer. Dansa Waltz, cha cha cha, dan bahkan joget dangdut umum dijumpai dalam pesta-pesta mereka.

You Might Also Like

5 komentar

  1. Selamat malam, artikel anda sangat menarik karena mengurai sejarah tanah evav. jika tidak keberatan saya injin copy/paste di blog resmi Bandara Karel Sadsuitubun (http://bandara-karelsadsuitubun.blogspot.com)

    Terima kasih sebelumnya

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. terima kasih atas infonya tentang sejarah Kei, semoga saya bisa balik lagi ke Pulau Kei Kecil :)

    BalasHapus
  4. Koyaan bolehkah saya mengambil beberapa refensi dsni untuk membuat blog sya

    BalasHapus