Negri Soya
20.47Peta Teung Negri Soya
Negeri Soya tidak dapat dipastikan kapan berdirinya. Yang pasti, Negeri ini termasuk Negeri yang tertua di Jazirah Leitimor.
Berdasarkan penuturan dan cerita-cerita tua, Leluhur yang mendiami negeri Soya berasal dari Nusa Ina (Pulau Seram) antara lain, dari Seram Utara, kurang lebih tempatnya dekat Sawai suatu wilayah yang bernama “Soya”, serta dari Seram Barat (sekitar daerah Tala).
Dari sumber cerita yang ada, perpindahan para leluhur orang Soya datang secara bergelombang yang kemudian menetap di Negeri Soya.
Mereka membentuk clan baru yang kemudian menjadi nama pada tempat kediamanya yang baru. Nama ini sama dengan nama di tempat asalnya. Hal ini dimaksudkan sebagai kenang-kenangan atau peringatan.
Negeri Soya kemudian berkembang menjadi suatu kerajaan dengan sembilan Negeri Kecil yang dikuasai Raja Soya.
Adapun kesembilan negeri kecil tersebut yakni :
- Uritetu, suatu negeri yang diperintah oleh “Orang Kaya”. Negeri ini letaknya sekitar Hotel Anggrek. Uritetu artinya dibalik bukit.
- Honipopu, adalah sebuah negeri yang diperintah oleh “Orang Kaya”. Negeri ini letaknya di sekitar Kantor Kota Ambon saat ini.
- Hatuela, juga di bawah pimpinan seorang “Orang Kaya”, letaknya di antara Batu Merah dan Tantui sekarang. Hatuela artinya Batu Besar.
- Amantelu, dipimpin oleh seorang “Patih”, yang letaknya dekat Karang Panjang. Amantelu artinya, Kampung Tiga.
- Haumalamang, dipimpin seorang “Patih”, letaknya belum dapat dipastikan. (diperkirakan di negeri Baru dekat Air Besar).
- Ahuseng, dipimpin oleh “Orang Kaya”, letaknya di Kayu Putih sekarang.
- Pera, dipimpin oleh “Orang Kaya”, letaknya di Negeri Soya sekarang.
- Erang, dipimpin oleh “Orang Kaya”, letaknya di belakang Negeri Soya sekarang. Erang berasal dari nama “Erang Tapinalu” (Huamual di Seram).
- Sohia, adalah Negeri tempat kedudukan Raja, letaknya antara Gunung Sirimau dan Gunung Horil.
Setiap Rumah Tau (mata rumah) yang ada memilih salah satu batu yang dianggap sebagai batu peringatan kedatangan mereka pada pertama kalinya di Negeri Soya.
Batu-batu ini dianggap sebagai perahu-perahu yang membawa mereka ke tempat dimana mereka akhirnya berdiam dan yang lasim disebut “Batu Teung”.
Saat ini di Soya dapat ditemukan beberapa Teung antara lain :
- Teung Samurele untuk Rumah Tau Rehatta
- Teung Saupele untuk Rumah Tau Huwaa
- Teung Paisina untuk Rumah Tau Pesulima
- Teung Souhitu untuk Rumah Tau Tamtelahittu
- Teung Rulimena untuk Rumah Tau Soplanit
- Teung Pelatiti untuk Rumah Tau Latumalea
- Teung Hawari untuk Rumah Tau Latumanuwey
- Teung Soulana untuk Rumah Tau de Wana
- Teung Soukori untuk Rumah Tau Salakory
- Teung Saumulu untuk Rumah Tau Ririmasse
- Teung Rumania untuk Rumah Tau Hahury
- Teung neurumanguang untuk Rumah Tau lapui
Teung-Teung ini seharusnya berjumlah 14 (empat belas) buah, dua diantaranya masih perlu diselidiki. Diantara teung-teung yang ada, ada dua tempat yang mempunyai arti tersendiri bagi anggota-angota clan tersebut yakni;
- Baileo Samasuru, yaitu tempat mengadakan rapat dan berbicara.
- Tonisou, yaitu suatu perkampungan khusus bagi Rumah Tau Rehatta yang di dalamnya disebut sebuah Teung.
Beberapa diantara rumah Tau tersebut tidak lagi menetap di negeri Soya, begitu pula Negeri kecil yang pernah ada telah hilang disebabkan beberapa faktor dan perkembangan yang terjadi didalam masyarakatnya.
Raja Soya yang pertama adalah "latu Selemau" dan isterinya bernama Pera Ina. Dibawah pemerintahan Latu Selemau, Negeri Soya (termasuk 9 negeri kecil yang berada dibawah kekuasaanya), merupakan suatu kesatuan besar, Dalam masa kebesarannya, Latu Selemau dianugerahkan beberapa gelar yang lebih agung yang merupakan bukti kebesarannya ialah : "LATU SELEMAU AGAM RADEN MAS SULTAN LABU INANG MOJOPAHIT" Gelar ini berkenan dengan hubungan dagang, bahkan perkawinan dengan orang-orang dari Kerajaan Majapaahit.
SISTEM PEMERINTAHAN NEGERI
Sistem pemerintahan negeri Soya pada mulanya merupakan sistem Saniri Latupati yang terdiri dari :
- Upulatu (Raja);
- Para Kapitan;
- Kepala-kepala Soa (Jou), Patih dan Orang Kaya;
- Kepala Adat (Maueng);
- dan Kepala Kewang,
Lambang Negri Soya
Saniri Latupati dilengkapi dengan "Marinyo" yang biasanya bertindak sehari-hari sebagai yang menjalankan fungsi hubungan masyarakat yang dikenal sekarang dengan nama HUMAS (Hubungan Masyarakat) dan pembantu bagi badan tersebut. Saniri Latupati dapat dianggap sebagai Badan Eksekutif pada saat ini.
Saniri Besar, yaitu persidangan besar yang biasanya diadakan sekali setahun atau bila diperlukan. Persidangan Saniri Besar dihadiri oleh Saniri Latupati dan semua Laki-laki yang telah dewasa dan orang-orang tua yang berada dan berdiam di dalam negeri Soya. Persidangan Saniri Besar merupakan suatu bentuk implementasi sistem demokrasi langsung.
Dalam perkembangannya, kemudian dibentuk pula Saniri Negeri yang terdiri dari Saniri Latupatih ditambah dengan unsur-unsur yang ada dalam negeri. Misalnya : Pemuda, dan organisasi-oraganisasi dari anak negeri yang ada. Persidangan Saniri Negeri dapat di anggap sebagai persidangan legislatif.
Dalam perkembangannya, kemudian dibentuk pula Saniri Negeri yang terdiri dari Saniri Latupatih ditambah dengan unsur-unsur yang ada dalam negeri. Misalnya : Pemuda, dan organisasi-oraganisasi dari anak negeri yang ada. Persidangan Saniri Negeri dapat di anggap sebagai persidangan legislatif.
Kondisi Geografis Negeri Soya
Negeri Soya adalah sebuah Negeri Adat, terletak di pinggir Kota Ambon, dengan puncakGunung Sirimau sebagai Icon-nya. Negeri ini berada di ketinggian lebih kurang 464 Meter dari permukaan laut.
Berbatasan; sebelah Timur dengan Negeri Hutumury dan Negeri Passo; sebelah Barat dengan Negeri Halatay; sebelah selatan dengan Negeri Naku dan Ema; dan sebelah Utara dengan LautTeluk Ambon. Suhu udara pada umumnya berkisar antara 20 derajat - 30 derajat Celcius. Untuk mencapai Negeri Soya dapat digunakan kendaraan jenis apapun dengan kondisi jalan yang berliku-liku namun mulus, dengan jarak kurang lebih 4 Km dari pusat Kota Ambon.
Berbatasan; sebelah Timur dengan Negeri Hutumury dan Negeri Passo; sebelah Barat dengan Negeri Halatay; sebelah selatan dengan Negeri Naku dan Ema; dan sebelah Utara dengan LautTeluk Ambon. Suhu udara pada umumnya berkisar antara 20 derajat - 30 derajat Celcius. Untuk mencapai Negeri Soya dapat digunakan kendaraan jenis apapun dengan kondisi jalan yang berliku-liku namun mulus, dengan jarak kurang lebih 4 Km dari pusat Kota Ambon.
Sejumlah kekayaan peninggalan sejarah seperti Gereja Soya, memberi nilai tersendiri bagi negeri ini. Letak Gereja Tua Soya yang selama ini telah ditetapkan sebagai cagar budaya, berada di tengah-tengah Negeri Soya, merupakan tempat yang sangat strategis karena berdampingan dengan sekolah dan Balai Pertemuan serta Rumah Raja. Sebagai Negeri yang kaya dengan nilai budaya dan adat istiadat, Negeri Soya merupakan salah satu daerah tujuan wisata di Maluku. Situs Gereja Tua Soya adalah salah satu tempat yang selama ini paling banyak dikunjungi oleh wisatawan dalam maupun luar negeri, disamping tempat-tempat lain seperti;Tempayang yang selalu berisi air walaupun tidak hujan yang berada di tengah puncak Gunung Sirimau.
Secara Topografis, Negeri Soya berbukit-bukit yang merupakan gejala morpologis. Keadaan demikian menjanjikan kesuburan tanah yang dapat diusahakan dengan tanaman buah-buahan dan tanaman umur panjang lainnya. Dengan Letaknya di ketinggian daerah pegunungan serta curah hujan yang cukup tinggi, maka Negeri Soya memiliki hutan yang subur, dengan ditumbuhi aneka ragam tanaman dan tumbuh-tumbuhan liar. Semua sungai/kali yang bermuara di pantai Teluk Ambon mulai dari Waihaong sampai ke pantai Passo, bersumber di lereng-lereng Gunung Sirimau dari petuanan Negeri Soya.
Budaya dan Agama
Penduduk Negeri Soya adalah masyarakat yang ramah dan religius, dengan gotong royong sebagai ciri khas masyarakat negeri penghasil durian dan salak ini. Nilai-nilai adat dan budaya seperti : Naik Baileo, cuci air, kain gandong, naik ke gunung Sirimau, selalu terpelihara dengan baik dan merupakan sebuah tradisi budaya yang telah menjadi Icon negeri dari turun temurun hingga saat ini.
Sebelum kedatangan bangsa Portugis di Maluku, Negeri Soya merupakan sebuah kerajaan yang berdaulat dengan wilayah kekuasaan meliputi, Teluk Ambon sampai ke Passo, Pesisir Pantai Timur sampai Selatan Jazirah Leitimor, dibawah pemerintahan Raja yang terkenal saat itu yakni “Latu Selemau” dengan Panglima Perangnya “Kapitan Hauluang” . Raja dan Panglima perang ini dibantu kapitan-kapitan kecil sebagai kepala pasukan tombak, panah, dan parang salawaku, dengan kekuatan 300 orang prajurit yang didukung oleh kurang lebih 1000 orang rakyat.
Hubungan dagang kerajaan Soya dengan Hitu, Ternate, dan Tidore bahkan Raja-Raja Goa terjadi pada akhir abad 14 saat Kerajaan Mojopahit telah pudar kekuasaannya dan kerajaan Islam mulai tumbuh. Bersamaan dengan itu, masuklah Armada Portugis yang menjadikan Kerajaan Soya kurang dipengaruhi oleh budaya Hindu maupun Islam.
Masyarakat Negeri Soya ternyata tidak menerima kedatangan bangsa Portugis yang bertujuan untuk melakukan perdagangan rempah-rempah. Rakyat Negeri Soya kemudian mengangkat senjata melawan Portugis. Perlawanan masyarakat tersebut dipimpin oleh tujuh anak Latu Selemau yang menguasai Soa Ahuseng, Soa Amangtelu, Soa Uritetu, Soa Labuhan Honipopu, dan Soa Atas. Perlawanan ini ternyata tidak membuahkan hasil. Kerajaan Soya takluk kepada Portugis. Kekalahan ini berhasil merubah wajah dan status Negeri Soya dari sebuah kerajaan yang berdaulat menjadi bagian dari daerah yang dikuasai oleh Portugis. Rakyatnya kemudian diinjili dan dibaptis oleh Fransiscus Xaverius dan menjadikan orang Soya beragama Kristen Katolik. Orang Soya yang tidak mau menyerah terus bertahan di puncak Gunung Sirimau. Mereka hidup terisolir serta tidak mempunyai hubungan dengan kerajaan lainnya.
Pada tahun 1605 armada VOC dibawah Pimpinan Steven vander Hagen memasuki labuhan Honipopu dan menyerang Benteng Portugis dari arah laut serta mengambil alih Benteng Portugis dan diberi nama VICTORIA. Kemenangan VOC atas Portugis membuka peluang bagi disebarkannya paham agama Kristen Protestan oleh Pendeta-Pendeta VOC. Hasilnya adalah, banyak orang Kristen Katholik beralih menjadi Kristen Protestan.
Kegiatan penginjilan ini dikaitkan dengan kepentingan VOC dalam menegakkan kekuasaan kolonial di Pulau Ambon. Dengan hak-hak istimewa yang mereka miliki dari Kerajaan Belanda, mereka gunakan untuk mengangkat pegawai asal pribumi termasuk juga mendidik dan menthabiskan pendeta baru asal pribumi untuk kepentingan penginjilan diantaranya; Lazarus Hitijahubessy yang diutus ke Negeri Soya untuk menyebarkan Injil pada tahun 1817. Melalui penginjilannya, Negeri Soya menjadi Kristen. Pengkristenan ini, ternyata berpengaruh terhadap adat-istiadat masyarakat Negeri. Secara adaptif nilai-nilai Kristiani dimasukan ke dalam adat maupun upacara adat seperti Rapat Negeri, Kain Gandong, Naik Baileo, Cuci Air, Cuci Negeri, naik ke puncak Gunung Sirimau dan Pesta Bulan Desember sebagai tanda persiapan/ penyambutan Natal Kristus.
Gedung Gereja Tua Soya walaupun bentuknya yang sederhana, namun telah memberikan andil bagi sejarah Pekabaran Injil di Maluku, khususnya di Negeri Soya. Kekristenan di Negeri Soya harus diakui tidak dapat dilepaskan dari hadirnya Joseph Kham yang bertemu dengan orang-orang Kristen di Negeri Soya pada tahun 1821. Jika digambarkan dalam angka, maka perkembangan kekristenan pada saat itu adalah sebagai berikut : Anggota Sidi : 22 orang, Anggota Babtis Dewasa : 21 orang, Anak Sekolah : 10 orang, Anak di luar Sekolah : 7 orang, dan Anak yang dibabtis : 1 orang.
Dari angka tersebut di atas dapat dikatakan bahwa proses pekabaran Injil di Negeri Soya ternyata berjalan lambat. Hal ini disebabkan karena masyarakat Soya yang masih terisolir, dan karenanya tidak mudah menyerahkan diri untuk dibaptis sebagai akibat peperangan dengan Bangsa Portugis. Faktor lain adalah, angka kelahiran yang sangat rendah disamping kehidupan sosial ekonomi.. Namun, harus diakui kedatangan Joseph Kham merupakan angin baru bagi penginjilan di Maluku termasuk Soya, yang menjadikan jumlah pemeluk Agama Kristen dari waktu ke waktu terus bertambah.
Dalam kaitannya dengan penyebaran Agama Kristen di Maluku, Gedung Gereja Soya sebenarnya mempunyai catatan sejarah tersendiri. Pertumbuhan Gedung Gereja Soya pada awalnya tidak diketahui. Untuk menampung kebutuhan kegiatan ibadah, pada tahun 1876 Raja Stephanus Jacob Rehatta memimpin orang Soya untuk memperbaiki serta memperluas bangunan Gereja secara semi permanen yang dipergunakan sampai tahun 1927. Pada masa pemerintahan Leonard Lodiwijk Rehatta, Gedung Gereja Soya yang diperbaharui tahun 1927, pada tahun 1996 kembali dipugar dan atau direstorasi dibawah panduan Bidang Museum Sejarah dan Kepurbakalaan Kanwil Pendidikan dan Kebudayaan Maluku. Hasil ini hanya bertahan hingga 28 April 2002 saat Negeri Soya diserang oleh kaum perusuh yang mengakibatkan korban jiwa meninggal 11 orang, 12 orang luka berat, dan sejumlah lain luka ringan, disamping 22 buah rumah hangus terbakar rata dengan tanah, dan Gedung Gereja Tua Soya yang telah menjadi Bangunan Cagar Budaya. Gereja Tua Soya kemudian berhasil dibangun kembali dan diresmikan oleh Ketua Sinode GPM Dr. Chr. J. Ruhulessin, M.Si dan Gubernur Maluku, Karel Albert Ralahalu.
Asal Mula Upacara Adat Cuci Negeri
Menurut sumber yang ada, pada waktu dulu upacara adat cuci negeri berlangsung selama lima hari berturut-turut. Segera setelah musim Barat (bertiupnya angin barat) yang jatuh pada bulan Desember, Upacara cuci negeri dimulai. Mereka percaya bahwa dengan bertiupnya angin barat, akan membawa serta datuk-datuk. Pada malam hari menjelang hari pertama dengan dipimpin oleh “Upu Nee” (initiator), para pemuda berkumpul di Samorele. Mereka mengenakan “cidaku” (Cawat), sedangkan mukanya dicat hitam (guna penyamaran), sebaliknya, semua wanita dilarang keluar rumah.
Para pemuda dengan dipimpin oleh Upu Nee menuju ke Sirimau tempat bersemayam Upulatu yang didampingi oleh seekor Naga. Upu Nee berjalan mendahului rombongan dan memberitahukan Upulatu bahwa, para pemuda akan datang dari clan-clan dimana mereka berasal.
Menjelang tengah malam, para pemuda yang ada didudukan dalam posisi bertolak belakang. Dalam keadaan seperti itu, datanglah Naga menelan mereka, dan menyimpan mereka selama lima hari dalam perutnya. Pada tengah hari pada hari kelima, Naga kemudian memuntahkan mereka. Masing-masing orang dari mereka kemudian menerima tanda, suatu lukisan berbentuk segi tiga pada dahi, dada, dan perut. Sementara itu, para wanita dan orang-orang tua telah membersihkan Samasuru dan Negeri.
Menjelang tengah hari, turunlah Upulatu bersama pemuda-pemuda tadi dari tempat Naga menuju Samasuru. Di sana, keluarganya telah menunggu. Dalam prosesi tersebut, lagu-lagu tua dan suci dinyanyikan (suhat) Raja / Upulatu mengambil tempat pada batu tempat duduknya (PETERANA) dan berbicaralah Raja dari tempat itu (Batu Stori Peterana) sambil menengadahkan mukanya ke Gunung Sirimau.
Sejarah mengenai jasa-jasa, pekerjaan-pekerjaan besar dari para datuk-datuk, sifat kepahlawanan mereka diceritakan kepada semua orang yang sedang berkumpul. Permohonan-permohonan dinaikan kepada Ilahi (dalam bentuk KAPATA) yang antara lain berkisa kepada penyelamatan negeri Soya beserta penduduknya dari bahaya, penyakit menular, dan mohon kelimpahan berkah, Taufik dan Hidayat-Nya kepada semua orang. Selesai ini semua, semua orang pun berdiri dan dua orang wanita (Mata Ina) yang tertua dari keluarga (Rumah Tau), Upulatu melilitkan sebuah pita yang berwarna putih melingkari orang itu (Kain Gandong Sekarang).
Dari cerita tua ini, nampak jelas pengaruh dari Upacara Tanda ala KAKEHANG di Seram Barat. Dapat ditarik kesimpulan bahwa pada waktu dulu upacara adat di Baileo (Samasuru) dilakukan untuk merayakan lulusnya para pemuda yang lulus dari upacara initiati di puncak Gunung Sirimau tersebut. Kemudian setelah masuknya agama Kristen yang dibawa oleh orang Portugis dan Belanda, maka penyelenggaraan upacara ini mengalami perubahan bentuk. Selanjutnya dengan cara evolusi yang terjadi di dalam masyarakat yang meliputi segi pendidikan, kerohanian, sosial, dan lain-lain, sebagaimana penyelenggaraannya dalam bentuk sekarang.
Maksud Dan Tujuan
Maksud dari penyelenggaraan dan perayaan upacara adat tiap tahun di Negeri Soya oleh penduduk serta semua orang yang merasa hubungan kelaurganya dengan Negeri Soya bukan semata-mata didasarkan oleh sifatnya yang tradisionil, tetapi lebih dari itu, dimaksudkan untuk memelihara, dan atau menghidupkan secara terus menerus kepada generasi sekarang maupun yang akan datang, berkenaan dengan, sifat dan nilai-nilainya yang positif.
Tidak dapat disangkal bahwa dari keseluruhan upacara adat ini, terdapat sejumlah hal penting antara lain: Persatuan, musyawarah, gotong royong, kebersihan, dan toleransi. Unsur-unsur tersebut di atas yang menjadikan upacara adat cuci negeri dapat bertahan sampai saat ini. Maksud perayaan penyelenggaraan setiap kali menjelang akhir tahun tersebut dapatlah dijelaskan sebagai berikut :
Bahwa datuk-datuk/para leluhur dahulu memilih waktu pelaksanaan upacara adat tersebut tepat di bulan Desember , saat permulaan musim barat (waktu bertiup angin darat). Menurut kepercayaan mereka pada waktu itu, arwah leluhur biasanya kembali dari tempat-tempat peristirahatannya ke tempat-tempat dimana mereka pernah hidup. Disamping itu, ada kepercayaan bahwa sehabis musim timur/hujan, biasanya keadaan yang diakibatkan selama musim hujan itu sangat banyak, antara lain : tanah longsor, rumah-rumah bocor, pagar dan jembatan rusak, sumur-sumur menjadi kotor dan banyak lagi hal-hal lain yang harus dibersihkan, dibetulkan, diperbaharui.
Untuk membenahi hal-hal yang diakibatkan oleh kejadian alam tersebut, maka para datuk-datuk menyelenggarakan upacara serta aktivitas-aktivitas yang berkaitan dengan penataan negeri dari berbagai kerusakan yang terjadi.
Dengan masuknya agama Kristen yang dibawa oleh Bangsa Barat, maka beberapa hal yang berbau animisme dan dinamisme ditanggalkan dan disesuaikan dengan ajaran Kristen seperti: meniadakan persiapan-persiapan untuk menyambut arwah-arwah leluhur. Makna kegiatan ini juga kemudian dikaitkan dengan ajaran Kristen dalam kaitannya dengan persiapan-persiapan perayaan Natal. Makna dari cuci negeri ini lebih ditonjolkan dengan maksud untuk mempersiapkan masyarakat dalam menyambut Anak Natal.
Upacara cuci negeri dengan demikian lebih bersifat menyucikan diri dari perasaan perseteruan, kedengkian, curiga-mencurigai (Simbolnya pada : turun mencuci tangan, kaki, dan muka di air Wai Werhalouw dan Unuwei). Dari segi keagamaan, penyelenggaraan ini yang kebetulan berlangsung pada awal bulan Desember mempunyai makna yang luas dalam menyongsong dan menyambut hari Raya Natal, Kunci Tahun dan Tahun Baru. Kesibukan di hari-hari ini sekaligus merupakan hari-hari atau minggu advent untuk persiapan perayaan hari raya berikutnya dengan keadaan yang cukup baik.
Upacara Adat Cuci Negeri
Sejak dahulu Negeri Soya telah terkenal dengan Upacara Adat “Cuci Negeri”. Upacara ini menarik perhatian banyak wisatawan baik dalam maupun luar negeri, serta para ilmuan. Seorang Anthropolog Amerika, Dr. Frank Cooley telah menyelesaikan disertasinya yang berjudul “Altar and Throne in Central Moluccan Societies” untuk mencapai gelar Doktor dengan mempergunakan banyak sekali data-data dari upacara adat tersebut.
Adapun proses jalannya upacara adat “Cuci Negeri” dapat dijelaskan sebagai berikut :
o Rapat Saniri Besar
o Pembersihan Negeri
o Naik ke Gunung Sirimau dan Matawana
o Turun dari Gunung Sirimau dan Penyambutan di Rulimena
o Upacara Naik Baileo Samasuru
o Kunjungan ke Wai Werhalouw dan Uniwei
o Persatuan dalam Kain Gandong
o Kembali Ke Rumah Upulatu (Raja)
o Pesta Negeri
o Cuci Air
1. Rapat Saniri Besar
Upacara adat Cuci negeri biasanya diselenggarakan pada setiap minggu kedua bulan Desember. Sebelum pelaksanaan upacara, pada tanggal 1 Desember selalu diadakan Rapat Saniri Besar, dimana berkumpul semua orang laki-laki yang dewasa, bersama Badan Saniri Negeri, serta Tua-Tua Adat untuk bermusyawarah membicarakan persoalan Negeri. Dalam musyawarah ini, terjadi dialog antara pemerintah dan rakyat secara langsung mengenai berbagai hal yang telah dipersiapkan oleh Saniri atas dasar Surat Masuk maupun yang langsung disampaikan oleh rakyat yang hadir pada saat itu. Pada rapat inilah, masalah upacara adat dibicarakan.
Mempersiapkan upacara Naik Baileo, rombongan “mata Ina” (ibu-ibu) dengan iringan tifa gong, pergi menjemput Upulatu (Raja) serta membawanya ke Baileo, semen-tara seluruh rakyat telah ber-kumpul di Baileo menantikan Raja dan rombongan. Di pintu Baileo, Upulatu disambut oleh seorang Mata Ina dengan ucapan selamat datang serta kata-kata penghormatan sebagai berikut : “Tabea Upulatu Jisayehu, Nyora Latu Jisayehu, Guru Latu Jisayehu. Upu Wisawosi, Selamat datang - Silahkan Masuk ” - Raja kemudian memasuki Baileu dan saat itu upacara segera dimulai.
Dengan iringan tifa dan gong yang bersemangat, para “Mata Ina” secara simbolik membersihkan baileu dengan sapu lidi dan gadihu, suatu tanda berakhirnya pembersihan negeri secara keseluruhan.
Setelah itu, Upulatu melanjutkan acara dengan menyampaikan titahnya kepada rakyat. Titah itu mempunyai arti yang besar bagi rakyat, yang oleh rakyat dipan-dang sebagai suatu pidato tahun-an yang disampaikan oleh Raja. Tita Upulatu kemudian dilanjut-kan oleh Pendeta (Guru Latu) yang selanjutnya dikuti dengan penjelasan tentang arti Kain Gan-dong oleh salah seorang Kepala Soa yang tertua. Selanjutnya Kepala Soa Adat melaksanakan tugasnya dengan “Pasawari Adat” atau “Kapata”, suatu ucapan dalam bahasa tanah yang dimaksudkan untuk memintakan dari Allah perlindungan bagi negeri, jauhkan penyakit-penyakit, memberikan panen yang cukup, serta pertambahan jiwa untuk negeri.
Bunyi Kapata tersebut adalah sebagai berikut :
“Kapua Upu Ilah Kahuressy Lebehanua, Kedua Yang Maha Besar Tuhan Kami, Isa Almasih, Ketiga Rohul Kudus. Upulatu Jisayehu, Upu Ama, Upu Wisawosi, Lopa Amang-Pamang Kupahareuw Pamesang-pamesang, Mahina-mahina, Malona-Malona Hai Amang Hona-Hona Pau Amang Penyakit-Penyakit tinggalkan negeri ini. Kahu Erimaang Saka Upu amang Upu Wisa Wosi Wei, Amang. Kalau-kalau sasoi Pasala Pamanisa o Sasou Maniska Ampun Ilah-Ilah. Ene Anak Maingheru yang sekarang ada berdiri di dalam Teung Lapiang Makakuang Haumalamang, kalau Sosoupasala Pamanisa Ou Sasou Manisa ampun Ilah-Ilah, karena itu bukan barang areka urung sakakenu menyembah berhala-berhala, bukan sekali-kali, hanya sebab Hauw Enamaang Eumena Enaam Guru Haji. Upu Ilah Kahuressy Lebehanua Komsidana UpuLatu Salemau Ka Hulubalang Dewana Deperneahau Amang Latu Jisayehu Sohiu (Sohia). Anak Maingheruw sekarang ada minta kalau boleh tolong-menolong lopang masim-masim kepada negeri ini supaya jangan negeri ini bersungut-sungut. Mahurung-mahurung Ambole Tatika karna saka karena Upu Ilah Kahuressy beserta Upu Latu Selemau Agam Raden Mas Sultan Labu Inang Modjopahit, kalau boleh tolong-menolong, parihu-parihu, Mahina-mahina, Malona-malona o Hija Ja Mesang Henu-Henu Humuhandeuw Minulai Halemuli Haumeat . Penu-Penu Hawa Teung Tuniwou Wala Werhalouw Rulimena Sasamasa Enamai. Ka segala selamat.
Ilah yang di atas semua Ilah Yang Maha Besar Tuhan Yesus Ketiga Rohul Kudus. Raja Latu Jisayehu, beserta Orang-orang tua bahkan seluruh rakyat mintakan agar menghindarkan segala bahaya kesulitan serta penyakit-penyakit dari wanita-wanita, laki-laki dan semua kekeluargaan. Kalau ada kesalahan kami mohon ampun dari Ilah dan sebagainya.
Sesudah itu segera tifa dibunyikan dan “suhat” (Nyanyian Adat) mulai dinyanyikan. Pada garis besarnya nyanyian tersebut mengisahkan peringatan kepada Latu Selemau serta datuk-datuk yang telah membentuk negeri ini, penghormatan kepada tugu-tugu peringatan dari kedatangan Rumah-Tau (Teung serta penghargaan kepada air yang memberi hidup) (Wai Werhalouw dan Unuwei).
Upacara adat Cuci negeri biasanya diselenggarakan pada setiap minggu kedua bulan Desember. Sebelum pelaksanaan upacara, pada tanggal 1 Desember selalu diadakan Rapat Saniri Besar, dimana berkumpul semua orang laki-laki yang dewasa, bersama Badan Saniri Negeri, serta Tua-Tua Adat untuk bermusyawarah membicarakan persoalan Negeri. Dalam musyawarah ini, terjadi dialog antara pemerintah dan rakyat secara langsung mengenai berbagai hal yang telah dipersiapkan oleh Saniri atas dasar Surat Masuk maupun yang langsung disampaikan oleh rakyat yang hadir pada saat itu. Pada rapat inilah, masalah upacara adat dibicarakan.
2. Pembersihan Negeri
Pada hari Rabu minggu kedua bulan Desember semua rakyat diwajibkan keluar untuk membersihkan negeri secara gotong royong. Pembersihan tersebut dimulai dari depan Gereja sampai ke Batu Besar, pekuburan, dan Baileo. Dalam kerja ini, Seorang wanita yang baru saja kawin dengan seorang pemuda Negeri Soya diterima sebagai “Mata Ina Baru” yang wajib mengambil bagian dalam upacara ini untuk menunjukkan ketaatannya kepada adat Negeri Soya.
Berkenaan dengan pembersihan Baileo, proses ini diawali oleh Kepala Soa Adat yang biasanya disebut “pica baileo”. Proses ini kemudian dilanjutkan oleh setiap anak negeri Soya yang hadir pada saat itu. Yang menonjol dari suasana pembersihan negeri ini adalah suasana gotong royong, kekeluargaan, dan persatuan.
Berkenaan dengan pembersihan Baileo, proses ini diawali oleh Kepala Soa Adat yang biasanya disebut “pica baileo”. Proses ini kemudian dilanjutkan oleh setiap anak negeri Soya yang hadir pada saat itu. Yang menonjol dari suasana pembersihan negeri ini adalah suasana gotong royong, kekeluargaan, dan persatuan.
3. Naik Ke Gunung Sirimau
Pada hari Kamis malam minggu kedua, sekumpulan orang laki-laki yang berasal dari Rumah Tau tertentu (Soa Pera) berkumpul di Teong Tunisou untuk selanjutnya naik ke Puncak Gunung Sirimau. Dengan iringan pukulan tifa, gong, dan tiupan “Kuli Bia” (kulit siput). Disana, mereka membersihkan Puncak Gunung Sirimau sambil menahan haus dan lapar.
4. Turun dari Gunung Sirimau dan Penyambutan di Rulimena
Keesokan harinya, Jumat sore, orang-orang laki-laki yang sejak malam berada di puncak Gunung Sirimau turun dari Gunung Sirimau. Mereka kemudian disambut untuk pertama kalinya di Soa Erang (Teung Rulimena). Di sana mereka dijamu dengan sirih pinang, serta sopi.. Setelah itu rombongan menuju baileu. Di Baileo mereka disambut oleh Mata Ina dengan gembiranya.
5. Upacara “Naik Baileo” (Samasuru)
Dengan iringan tifa dan gong yang bersemangat, para “Mata Ina” secara simbolik membersihkan baileu dengan sapu lidi dan gadihu, suatu tanda berakhirnya pembersihan negeri secara keseluruhan.
Setelah itu, Upulatu melanjutkan acara dengan menyampaikan titahnya kepada rakyat. Titah itu mempunyai arti yang besar bagi rakyat, yang oleh rakyat dipan-dang sebagai suatu pidato tahun-an yang disampaikan oleh Raja. Tita Upulatu kemudian dilanjut-kan oleh Pendeta (Guru Latu) yang selanjutnya dikuti dengan penjelasan tentang arti Kain Gan-dong oleh salah seorang Kepala Soa yang tertua. Selanjutnya Kepala Soa Adat melaksanakan tugasnya dengan “Pasawari Adat” atau “Kapata”, suatu ucapan dalam bahasa tanah yang dimaksudkan untuk memintakan dari Allah perlindungan bagi negeri, jauhkan penyakit-penyakit, memberikan panen yang cukup, serta pertambahan jiwa untuk negeri.
Bunyi Kapata tersebut adalah sebagai berikut :
“Kapua Upu Ilah Kahuressy Lebehanua, Kedua Yang Maha Besar Tuhan Kami, Isa Almasih, Ketiga Rohul Kudus. Upulatu Jisayehu, Upu Ama, Upu Wisawosi, Lopa Amang-Pamang Kupahareuw Pamesang-pamesang, Mahina-mahina, Malona-Malona Hai Amang Hona-Hona Pau Amang Penyakit-Penyakit tinggalkan negeri ini. Kahu Erimaang Saka Upu amang Upu Wisa Wosi Wei, Amang. Kalau-kalau sasoi Pasala Pamanisa o Sasou Maniska Ampun Ilah-Ilah. Ene Anak Maingheru yang sekarang ada berdiri di dalam Teung Lapiang Makakuang Haumalamang, kalau Sosoupasala Pamanisa Ou Sasou Manisa ampun Ilah-Ilah, karena itu bukan barang areka urung sakakenu menyembah berhala-berhala, bukan sekali-kali, hanya sebab Hauw Enamaang Eumena Enaam Guru Haji. Upu Ilah Kahuressy Lebehanua Komsidana UpuLatu Salemau Ka Hulubalang Dewana Deperneahau Amang Latu Jisayehu Sohiu (Sohia). Anak Maingheruw sekarang ada minta kalau boleh tolong-menolong lopang masim-masim kepada negeri ini supaya jangan negeri ini bersungut-sungut. Mahurung-mahurung Ambole Tatika karna saka karena Upu Ilah Kahuressy beserta Upu Latu Selemau Agam Raden Mas Sultan Labu Inang Modjopahit, kalau boleh tolong-menolong, parihu-parihu, Mahina-mahina, Malona-malona o Hija Ja Mesang Henu-Henu Humuhandeuw Minulai Halemuli Haumeat . Penu-Penu Hawa Teung Tuniwou Wala Werhalouw Rulimena Sasamasa Enamai. Ka segala selamat.
Ilah yang di atas semua Ilah Yang Maha Besar Tuhan Yesus Ketiga Rohul Kudus. Raja Latu Jisayehu, beserta Orang-orang tua bahkan seluruh rakyat mintakan agar menghindarkan segala bahaya kesulitan serta penyakit-penyakit dari wanita-wanita, laki-laki dan semua kekeluargaan. Kalau ada kesalahan kami mohon ampun dari Ilah dan sebagainya.
Sesudah itu segera tifa dibunyikan dan “suhat” (Nyanyian Adat) mulai dinyanyikan. Pada garis besarnya nyanyian tersebut mengisahkan peringatan kepada Latu Selemau serta datuk-datuk yang telah membentuk negeri ini, penghormatan kepada tugu-tugu peringatan dari kedatangan Rumah-Tau (Teung serta penghargaan kepada air yang memberi hidup) (Wai Werhalouw dan Unuwei).
6. Kunjungan ke Wai Werhalouw dan Uniwei
Di Teung Tunisouw, telah dipersiapkan Kain Gandong yang kedua ujungnya dipegang oleh dua orang “Mata Ina” yang tertua dari Soa Pera membentuk huruf U menantikan rombongan yang naik dari Wai Werhalouw. Setelah rombongan ini masuk ke dalam Kain Gandong, maka Kain Gandong diputar-putar sebanyak tiga kali (sebutan orang Soya: Dibailele) mengelilingi rombongan, kemudian menuju rumah Upulatu Yisayehu. Dari sini, rombongan dari Tunisou melanjutkan perjalan-an menuju Soa Erang (Rulimena) untuk menjemput rombongan. di Soa Erang, rombongan dari Tunisou dielu-elukan oleh rombong-an Soa Erang yang kemudian menyatukan diri dalam Kain Gandong. Di tempat itu pula Kain Gandong diputar-putar sebanyak tiga kali mengelilingi rombongan yang telah bersatu tersebut.
Di rumah Upulatu, rombongan kemudian menggendong Upulatu dan istrinya dan orang tua-tua lainnya ke dalam kain gandong sambil berpantun. Dengan demikian lengkaplah seluruh unsur dalam negeri sebagai satu kesatuan. Prosesi ini menandai berakhirnya seluruh rangkaian upacara. Prosesi ini kemudian dibubarkan, dan Kain Gandong disimpan di rumah Upulatu. Para tamu yang ada kemudian dijamu dengan makanan adat di rumah Upulatu.
Upacara Cuci Negeri akan menjadi lengkap dengan pesta negeri yang merupakan suatu ungkapan suka-cita, kebersamaan, dan kekeluargaan. Atas semua proses upacara cuci negeri yang boleh dilakukan. Pesta ini biasanya sangat meriah karena dihadiri oleh seluruh rakyat. Pesta itu diisi dengan badendang, tifa, totobuang, menari, dll.
Pada keesokan harinya, Sabtu, setelah berpesta semalam suntuk, semua orang menuju kedua air (Wai Werhalouw dan Unuwei) untuk membersihkannya.
Demikian tulisan ini kami persembahkan dan kiranya dari padanya, kita akan memiliki pengetahuan awal tentang Budaya Cuci Negeri, yang merupakan tradisi dari turun-temurun. Kami sadar sungguh bahwa, tulisan ini tidak lepas dari berbagai kekurangan dan kelemahannya. Demi penyempurnaannya, kami berharap adanya kritik dan saran dari Bapak/Ibu. Kiranya Kekayaan budaya ini akan menjadi tata kehidupan dalam menuntun hidup bermasyarakat di Negeri Soya.Semoga ..!
Sambil menyanyi, rombongan terbagi dua, sebagian menuju air Unuwei, (anak Soa Erang dan Rakyat lainnya). Di sana setiap orang mencuci tangan, kaki, dll, kemudian rombongan yang datang dari air Unuwei berkumpul di Soa Erang (Teung Rulimena) sambil menantikan rombongan dari Wai Werhalouw (Soa Pera).
7. Persatuan Dalam “Kain Gandong”
7. Persatuan Dalam “Kain Gandong”
Rombongan Soa Pera dijamu oleh rombongan Soa Erang dengan hidangan ala kadarnya sebagai penghormatan dan rasa persatuan. Disamping itu, disediakan juga satu meja persatuan dengan makanan adat bagi para tamu yang tidak pergi ke Unuwei. Selanjutnya kedua rombongan yang telah bersatu dalam Kain Gandong tersebut sambil bersuhat menuju kembali ke rumah Upulatu.
8. Kembali Ke Rumah Upulatu
9. Pesta Negeri
10. Cuci Air
Hal ini dimaksudkan agar air selalu bersih untuk dapat digunakan oleh masyarakat.
11. Penutup
8 komentar
Jika kita mendalami sejarah peradaban di Ambon,maka asal muasal adanya negeri di Pulau Ambon itu dimulai di Hitu. Hal ini karena menurut cerita tuturan di Hitu dinyatakan bahwa awal mulanya pulau ini berasal dari Sa'aru (bagian yg dangkal dilaut) kemudian tiba2 ada ombak yg pecah diatas sa'ru tersebut dan secara gaib muncullah seorang tua dari buih ombak tersebut dan sa'ru mulai meninggi membentuk sebuah pulau. Hal ini bisa dibuktikan dgn adanya bekas sa"aru tersebut dibelakang negeri Hitu saat ini. Maka atas dasar riwayat tersebut pulau ini nama aslinya adalah Nusa Hitu (Nusa= Pulau,Hitu=berasal dari kata Hotu= timbul). Makanya gunung yg tinggi di pulau dinamai Gunung Salahutu (berasal dari kata bahasa daerah setempat yakni Saluhotu). Sedangkan penyebutan nama pulau ini menjadi Ambon adalah setelah bangsa Portugis menginjakan kakinya di Ambon pada tahun 1512. Pada awalnya pembentukan negeri di pulau ini adalah negeri Hitu yang kemudian menjadi pusat Kerajaan Hitu yang wilayahnya meliputi seluruh pulau Ambon (Nusa Hitu) serta wilayah ujung barat pulau Seram (Nusa Ina), dengan raja bernama Abubakar yang bergelar Upu Latu Sitania. Kemudian setelah Portugis mulai melakukan zending agama Nasrani secara paksa kepada rakyat setempat maka timbulah perang rakyat Hitu dengan Portugis dan akhirnya Portugis menyingkir dari Hitu dan membangun benteng Victotia dan bebas melakukan zending agama Nasrani sekitarnya dan kemudian Pulau Ambon terbagi jafi dua wilayah yakni Leitimur yang dikuasai oleh Portugis, sedangkan Leihitu dikuasai oleh Hitu. Kekuasaan kerajaan Hitu yang dulu tersebut saat ini disebut dengan Negeri Hitulama yang dalam sistim prrintahannya tetap dipimpin oleh Raja yang berasal keturunan raja-raja Hitu dulu yakni dari rumatau Pelu.
BalasHapus.
Maaf sudaraku, cerita hitu itu luas, n cerita sejarah itu harus punya bukti keaslianya, dan beta tanya sadiki jua, raja ABUBAKAR memerintah tahun berapa?.....
BalasHapusPenulisnya satu fam dengan saya 😅
BalasHapusSaya ingin belajar banyak, penulis bisakah kasih saya lebih banyak informasi tentang fam Soplanit, karna kita satu fam 😊 tapi saya lahir dan besar di tanah sunda. Saya ingin tau banyak tentang tanah leluhur.
BalasHapusTanah sunda mananya???
HapusMau tnya,apa betul gan sahurilla ada di soya?
BalasHapusbeta Tamtelahitu
BalasHapusBETA SALAKORY
BalasHapus