Jejak Cina di Maluku

15.55

Suatu Hermeneutika Sejarah (Lokus Lease)

Oleh. Elifas Tomix Maspaitella


1. Carapandang Sejarah yang Digunakan di Sini
Judul di atas merupakan suatu usaha membahas dimensi sejarah gereja yang kiranya ditempatkan dan dipahami juga dalam konteks sejarah sosial secara menyeluruh. Memang ada aspek spesifik atau partikular dari sejarah, tetapi tidak bisa dilepaskan dari konteks sejarah secara umum.

Beta mengalami sedikit kesulitan untuk menyajikan judul di atas sebagai sebuah tulisan sejarah, sebab beta memiliki sedikit data yang bisa membuat tulisan ini mengandung salah satu ciri penting dari sejarah itu sendiri yakni diakronik.
Jika kita menyimak sistem pendataan sejarah, maka ada dua jenis data. Pertama, data tentang rekaman peristiwa di dalam suatu masa, yang memuat tindakan para aktor yang nota-bene adalah elite dalam suatu sistem sosial di masa lampau. Data ini berbentuk laporan-laporan atau arsip, dokumentasi, dan bangunan [yang lebih banyak menjadi fokus arkeologi]. Kedua, hasil penafsiran suatu peristiwa sejarah, yang disusun oleh orang-orang lain di masa kemudian, sebagai suatu bentuk telaah kritis terhadap jenis data pertama tadi. Data jenis kedua ini pun terbagi menjadi dua, yaitu penafsiran ‘komunitas penulis sejarah’ yang cenderung bertendensi politis, dan penafsiran kritikus yang melihat adanya sisi-sisi tertentu yang terabaikan, atau adanya ketimpangan di dalam rangkaian sejarah itu, dsb – yang bertanya mengapa tindakan orang-orang lokal tidak terekam sebagai event yang penting dalam sejarah.

Suara para pelaku sejarah atau masyarakat di dalam lokus terjadinya suatu event sejarah sering terabaikan, dalam arti tidak ‘naik cetak’. Sebab itu event yang menjadi data adalah tindakan para elite atau serangkaian aktifitas suatu institusi. Dengan berkembangnya hermeneutika sejarah, tindakan komunitas di dalam lokus sejarah menjadi penting. Kendalanya yaitu tidak ada data atau rekaman yang akurat, dalam arti lebih banyak mengandalkan ‘tradisi lisan’, yang terkadang kurang akurat, sebab pelaku sejarah sudah lama “meninggal”, atau terlalu lama “dibungkamkan”. Sejarah dalam arti itu bukanlah suatu diskripsi atas historisitas yang konkruen, yang mendramatisasikan dinamika setiap “pelaku sejarah”. Historisitas – dalam tradisi ilmu – adalah suatu gambaran menyeluruh (detail) mengenai waktu dan ruang keberadaan manusia. Bahwa manusia adalah produk dari sejarah itu sendiri, dan memiliki eksistensi historis, artinya memiliki relasi setara antara dirinya dengan orang lain di tengah lingkungan keberadaannya itu (zitz im leben). Idealnya bahwa penceritaan sejarah harus memandang setiap pelaku sejarah sebagai orang-orang yang sejajar, memiliki peran yang sama-sama penting dalam bingkai sejarah. Tafsir sosial yang mendudukkan posisi dan status sosial mereka: mis. seorang sebagai raja, kepala soa, gubernur, majikan, buruh, dll.

Sebab itu peneropongan terhadap konteks sejarah gereja/kekristenan di Lease coba ditelusuri dengan melihat konstelasi dalam hubungan ‘siapa yang membawa pesan dan siapa penerimanya’ . Pemahaman itu memperlihatkan perlunya suatu proses hermeneutik.

2. Posisi Lease dalam Konteks Ekonomi dan Politik:
2.1. Pulau Rempah-rempah yang Ditemukan dan Disembunyikan China
Sebenarnya dengan menelusuri jejak-jejak perdagangan China, kita bisa menyusun dan mengreksi kembali sejarah ekonomi di Maluku yang selama ini sangat nederlandscentris.

Orang selama ini memperkirakan bahwa cengkeh menjadi terkenal di pasar Eropa karena dibawa oleh Portugis dan/atau armada VOC. Asumsi ini salah! Sebab sejak abad ke-3 cengkeh sudah dikenal secara umum oleh masyarakat Terqa di Mesopotamia dan Syria, dan diperkenalkan oleh bangsa China [dan pedagang-pedagang Arab]. Di Mesopotamia, cengkeh hanya dikonsumsikan oleh kelompok menengah ke atas sebagai pengharum mulut jika akan menghadap Raja. Cengkeh menjadi simbol status sosial. Dalam beberapa dokumen sejarah diungkapkan bahwa pala dan cengkeh sudah dikenal di kalangan bangsa Syria. Pliny, sejarahwan Romawi juga menyebut tentang keberadaan rempah-rempah berupa cengkeh dan pala sebagai barang dagang mewah dan mahal yang ditemukan di pasar Romawi kuno sejak abad ke-3, dan semakin populer di pasar Eropa sekitar abad ke-10.

Malah nama Maluku sudah tercatat dalam tambo dinasti Tang di negeri China (618-906) yang menyebut tentang ‘Miliku’, yaitu suatu daerah yang dipakai sebagai patokan penentuan arah ke kerajaan Holing (Kalingga) yang ada di sebelah Barat. W.P. Groenveldt memperkirakan ‘Mi-li-ku’ ini sebagai Maluku. artinya sekurang-kurangnya Maluku sudah dikenal di negeri China pada abad ke-7.

J.C. Van Leur menyebut:
‘Sejak abad pertama Masehi, Indonesia sudah turut mengambil bagian dalam perdagangan Asia Purba dengan jalan niaga yang melalui Asia Tenggara dari China di Timur ke Laut Tengah di bagian barat. Pada waktu itu Indonesia terkenal sebagai pengekspor rempah-rempah, bahan obat-obatan, kayu berharga, hasil-hasil hutan, binatang dan burung yang indah. Cengkih adalah satu-satunya tanaman yang hanya terdapat di Maluku waktu itu. Pedagang-pedagang dan pelaut-pelaut China mengetahui Maluku sebagai penghasil cengkeh, akan tetapi mereka merahasiakan jalan pelayarannya.”

Dokumen China yang menceritakan panjang lebar mengenai keberadaan Maluku adalah Annaal China dari dinasti Ming (1368-1643), menyebut Maluku berada di laut Tenggara. Sebelum itu, dan sampai dengan 1421, peta navigasi China mengenai keberadaan pulau rempah-rempah disimpan sebagai dokumen rahasia, dan yang dipublikasi adalah peta yang sudah diubah sistem navigasinya. Dalam Annaal China disebut:
Maluku memiliki ‘gunung dupa’ (incense mountain), dan jika telah ‘turun hujan’, maka dupa itu berjatuhan menutupi tanah sehingga penduduk tidak mampu menghimpunnya karena banyaknya. Tempat menyimpannya banyak dan kemudian dibawa ke perahu-perahu pedagang untuk dijual.”

Gavin Menzies bercerita panjang lebar tentang bagaimana ekspansi dagang dan armada laut China menerobosi lautan dan membuat peta pelayaran lalu untuk sekian waktu lamanya ‘menyembunyikan’ Maluku sebagai pulau rempah-rempah, beberapa abad kemudian baru diketahui oleh orang-orang Eropa.


Adalah Kaisar Zhu Di, Putra Langit, merupakan tokoh kunci dalam seluruh perkembangan sistem navigasi dan ekspansi armada laut China pada tahun 1421. Dia kemudian memerintahkan Dinasti Song dan Yuan (bangsa Mongol) untuk membangun perdagangan luar negeri, sehingga kemudian Zhu Di mengontrol perdagangan rempah-rempah dari Arab yang dulu pernah didominasinya. Ia mulai mendorong 250 buah ‘kapal harta’ besar bertiang sembilan, 3.500 lain, terdiri dari 1.350 kapal patroli dan kapal perang dalam jumlah yang sama, 400 kapal perang besar, 400 kapal barang untuk mengangkut padi, air dan kuda bagi armada lautnya. Tujuan dari ekspansi armada lautnya ialah menciptakan kembali jalur perdagangan melintasi Asia Tengah yang pernah dimiliki China di zaman keemasan Dinasti Tang selama lima abad sebelumnya.

Dalam dua dekade, ekspansi armada laut China itu telah berhasil merekrut berbagai potensi kekayaan alam. Bahkan runtuhnya kekaisaran Romawi telah mengakibatkan kemunduran ekonomi dan pertanian di Eropa. Sedangkan China terus berkembang, termasuk dalam bidang pengobatan. Di sini sebenarnya mulai muncul minat Eropa (Spanyol dan Portugis) untuk mengumpulkan bahan pangan, emas, dan rempah-rempah – yang sudah terlebih dahulu diperkenalkan China kepada mereka. Pada saat itulah, animo untuk mencari daerah rempah-rempah mulai mempengaruhi orang-orang Eropa .
Perjalanan menemukan Pulau Rempah-rempah ternyata melalui jalur Australia. Kala itu China juga mencari berbagai bahan tambang, seperti timah yang membawa mereka ke dalam komunitas Aborigin di Arnhem Land. Penggalian bahan-bahan tambang dan uranium mengakibatkan kematian yang luar biasa pada Oktober 1423. Pengetahuan China mengenai jalan ke Pulau Rempah-rempah ditunjukkan dalam peta Rotz, yaitu peta yang digambar oleh kartografer di atas armada kapal Zhou Man. Dalam peta itu, arti penting Ambon, yang saat itu menjadi pusat pertemuan dua pulau Rempah-rempah Ternate dan Tidore ditekankan oleh warnanya yang merah di peta.

Dikabarkan bahwa:
“…ketika meninggalkan Australia, kapal Zhou Man masih memuat sutera dan porselen. Namun pulau rempah-rempah berada di antara Australia dan kampung halaman [China], dan rempah-rempah saat itu menjadi komoditas sangat berharga di China. Bahkan ketika armada laut itu menjadi rombongan beberapa kapal saja, mereka masih bisa membawa ribuan ton keramik. Dengan berlayar ke Pulau Rempah-rempah Zhou Man akhirnya memiliki kesempatan untuk menukarkan barang-barang bawaannya dengan barang yang berharga seperti pala, merica dan cengkeh”.

“Pada abad pertengahan, Ternate dan Tidore adalah pusat perdagangan rempah-rempah dan merupakan pulau yang sangat produktif. Mereka menjadi legenda dan telah dicari selama berabad-abad, karena semua rempah-rempah dapat diperoleh di sana dalam jumlah yang sangat besar. Hingga kini, keharuman khusus cengkeh bisa dicium dari lautan luas, jauh sebelum pulau itu terlihat.”


Dengan melihat pada peta Rotz mengenai jalan pulang Zhou Man dari Australia yang melalui pulau rempah-rempah, dia tidak hanya membawa serta rempah-rempah melainkan juga menukarkan barang-barang porselen yang juga ditukarkan dengan batik, artefak, air bersih, buah dan juga daging. Aktifitas barter ini menjadi salah satu bentuk kontak antara orang-orang China, dan India [yang mengekori perjalanan China] dengan komunitas di kawasan kepulauan Maluku .

Proses dagang China dengan orang-orang Maluku terjadi melalui serangkaian aktifitas negosiasi yang sederhana. Dalam salah satu dokumen dari Ma Huan, seperti dikutip Menzies, diceritakan bagaimana barang-barang dari armada laut dijual dan bentuk kontrak dagang yang digunakan:
…ketika harga telah disepakati, mereka pun mencatat perjanjian itu. Sang ketua dan Chei-Ti bersama dengan tuannya Kasim semuanya bergabung bersama, lalu si tengkulak mengatakan: ‘Pada bulan dan hari tertentu, kita semua telah bergandengan tangan dan menyepakati perjanjian ini dengan jabat tangan. Meski [harga] mahal ataupun murah, kita tidak akan pernah membatalkan atau mengubahnya.

Tindakan ‘jabat tangan’ itu dilihat sebagai semacam ‘bukti kontrak’ atau ‘kwitansi’ untuk praktek jual-beli. Seperti lazimnya, orang-orang China akan mengambil rempah-rempah berupa cengkeh dari masyarakat Maluku, kemudian mereka meninggalkan berbagai porselin dan barang-barang China lainnya termasuk sutera .

Braudel, seperti juga dikutip Menzies, menulis:
[Bangsa China] mengelilingi seluruh negeri. Dengan timbangan [dacing] di tangan, mereka membeli semua rempah yang mereka jumpai. Setelah menimbang sedikit sehingga mereka dapat menentukan kira-kira jumlahnya, mereka menawarkan pembayaran dalam uang gepokan, banyaknya tergantung pada kebutuhan si penjual akan uang. Dengan cara ini mereka dapat menimbun sedemikian banyak sesuai dengan kapasitas kapal-kapal yang datang dari China, dan menjualnya senilai lima puluh ribu caixas [mata uang Portugis], padahal mereka membelinya tidak lebih dari dua belas ribu.

Ternyata dengan cara seperti itu, China turut mendominasi perdagangan pada level praksis di masyarakat. Mereka mengontrol penentuan dan tingkat harga, dan karenanya turut mengontrol jumlah distribusi dan pasokan rempah-rempah yang diperdagangkan.
Des Alwi menyebut bahwa hasil penelitian Universitas Brown, Amerika Serikat dengan Yayasan Warisan dan Budaya Banda Naira dan Universitas Pattimura pada 1996-1998, menyebut bahwa:
“kira-kira 900 sampai 1.000 tahun yang lalu kapal-kapal China sudah berdagang di Banda karena ditemukan pecahan piring-piring zaman Dinasti Ming dan juga pecahan kendi-kendi, tempayan dari tanah liat yang dibuat oleh orang Banda pada zaman Pra Islam abad ke-9. Bendera yang dipakai Kampung Adat Namaswar adalah Naga China, katanya dirampas dari perang di laut dengan bajak laut China. Tetapi sebenarnya bendera naga itu diserahkan oleh pedagang China kepada rakyat Banda. Begitupun korakora Ratu dan Namaswar memakai ukiran-ukiran naga”.

Dari Pulau Rempah-rempah inilah baru Zhou Man pulang ke China dengan memuat ribuan ton rempah-rempah yang bahkan tersimpan sebagai cadangan rempah-rempah dalam gudang, yang kemudian dijual dengan harga 10 kali lebih tinggi dari harga ketika dibeli di pulau rempah-rempah.

Sebab itu keberadaan orang-orang China di Maluku sudah ada sebelum masuknya bangsa Eropa. Memang kita masih perlu mencari bukti mengenai apakah dalam perjalanan kembali Ma Huan dan episode setelah itu, sebelum Magellan menemukan jalur rempah-rempah dari peta Rotz, apakah sebagian anggota armada laut China menetap di Maluku atau baru datang setelah Magellan menemukan jalur ini. Sebab beberapa data juga menyebut bahwa pedagang China kemudian membeli tanah dari penguasa-penguasa setempat untuk melakukan berbagai usaha mereka di bidang ekonomi; terutama ketika ditemukan pula adanya produk lain yang laku di pasar Eropa seperti teripang, sirip ikan, mutiara, merica, dll.

Richard Chauvel berhasil membantu kita melirik sedikit kepada jejak-jejak China dengan memberi data statistik tahun 1930 :
Orang Ambon Buton Suku lainnya (Jawa, dll) Orang Eropa Oriental
Kota Ambon 7.593 5.994 1.878 1.869
6.436 (Kristen)
2.106 (Islam)
Pulau Ambon 38.715 9.164 1.051 247 310
20.961 (Kristen)
17.923 (Islam)
Saparua 38.458 1.015 273 290 359
29.933(Kristen)
8.462 (Islam)
Total 84.766 10.179 7.318 2.415 2.538

Dari data itu tergambar bahwa kontak orang-orang Buton, Jawa, dan China dengan orang-orang Maluku sudah terjadi sebelum periode perdagangan Eropa. Mereka semua melakukan tindak perdagangan lokal dengan pusat rempah-rempah. Karena itu tidak heran jika cengkeh masuk ke Eropa juga melalui pedagang Arab yang membawanya dari jalur Samudera Pasai. Sebab saat itu Malaka juga menjadi bandar dagang yang penting. Kontak China dengan pedagang-pedagang Arab dan India juga terjadi di bandar Malaka.

Sisi lain dari data itu ialah komunitas suku-suku tadi di Pulau Saparua juga cukup signifikan. Orang Buton di Saparua pada tahun itu sudah mencapai 1.015 orang, suku Jawa 273 orang, dan China 359 orang. Hal ini perlu diteliti lebih lanjut, sebab terbentuknya komunitas Buton, Jawa, dan China di kawasan ini berdampak pada berbagai aspek dalam kehidupan perekonomian. Orang Buton lebih condong pada usaha perkebunan, sebagai petani penggarap. Dahulu mereka biasa meminta sebidang tanah dari penduduk setempat untuk ‘biking kabong’. Mereka bahkan tinggal di ‘rumah-rumah kabong’ yang sederhana, tetapi yang lambat laun turut mengubah formasi permukiman sosial di tia-tiap negeri. Mulai terbentuk kampung Buton di berbagai tempat , seiring dengan pertambahan penduduk yang adalah anggota keluarga ‘orang pertama’. Populasinya berkembang cepat karena perkawinan yang tinggi termasuk ‘kawin muda’.

Sementara orang-orang Jawa dan suku lainnya memiliki sifat bermukim yang tidak sama dengan orang Buton, karena itu hampir tidak ditemui bekas permukiman orang Jawa . Sifat itu pun sama dengan orang China. Namun karena modal yang besar, orang China mengontrol sistem perdagangan lokal dan antarpulau di dalam kawasan-kawasan yang kecil seperti Lease. Sebab itu di hampir setiap negeri, bahkan yang sulit dijangkau oleh transportasi laut sekalipun, sudah dijumpai adanya ‘Toko China’ yang mengontrol perdagangan berbagai hasil alam, hasil kebun, hasil laut, dan juga penjualan barang kelontongan seperti pakaian, nampan, piring, gelas, muk/cangkir, dll. Secara sosiologis kemudian muncul sebutan seperti China Saparua, China Dobo, China Banda, dll.

Pola kerja orang Buton mungkin sama dengan pola kerja orang Ambon-Lease; sehingga tidak ada pertukaran sistem ekonomi yang terlalu signifikan. Mungkin perbedaannya hanya pada mentalitas kerja. Tetapi orang China memperkenalkan sistem perekonomian yang baru. Beberapa hal yang diperkenalkan mereka a.l: perdagangan antarpulau – suatu jenis usaha baru yang bisa disebut mendorong orang Lease keluar dari pulau-pulau mereka dan mulai berdagang di pulau lainnya. Beta memperkirakan bahwa sistem ‘papalele’ juga adalah suatu model kerja baru yang turut dipengaruhi oleh gaya berdagang orang China . China juga memperkenalkan sistem jual-beli dengan menyertakan uang atau barang berharga, dan manajemen pascapanen dalam bentuk ‘simpan uang’.

Untuk aspek pertama ini beta lebih condong untuk mendiskusikan pengaruh China di Maluku, walau dengan bahan yang serba terbatas. Tujuannya adalah untuk melihat bagaimana ketika motivasi dagang benar-benar berjalan demi kepentingan dagang; dan membandingkannya dengan motivasi dagang yang bertindih rapat dengan motivasi politik (kolonialisme) dan penyiaran agama di lapis lainnya. Ini sebenarnya untuk melihat dampaknya pada respons masyarakat setempat; bahkan terhadap injil atau agama baru yang dibawa.

Data Chauvel itu memperlihatkan adanya dinamika hubungan penduduk Kristen dan Islam di Ambon-Lease, dan dalam variasi sosialnya orang oriental di kemudian hari ternyata ‘memilih’ menjadi kristen ketimbang Islam. Memang perlu data yang cukup untuk membenarkan tesis bahwa hal itu terjadi karena saat jalur perdagangan ke Asia Tenggara didominasi oleh orang Portugis, Inggris, Spanyol dan Belanda, China terpaksa harus membangun persahabatan dengan mereka agar bisa turut bersama-sama dalam menjalankan perdagangan rempah-rempah dari Maluku. Mereka [China] tidak mau kehilangan apa yang sejak semula mereka temukan. Ini yang kemudian menjadi sebab mengapa sebagian orang China memilih tinggal di Ambon, dan membeli tanah di Saparua, Haruku, Nusalaut, dan sampai ke Seram [pada abad ke-18/19] setelah produksi cengkeh di Maluku Tengah mulai diusahakan secara besar-besaran oleh VOC.

Sama halnya dengan orang-orang Buton dan Jawa yang lebih banyak muslim atau sejak awal, sebelum ke Maluku adalah muslim. Mereka kemudian membentuk perkampungan sosial tersendiri, dan merapat dengan negeri-negeri Kristen di Ambon-Lease.

2.2. Pedagang Jawa dan Sulawesi Dalam Konstelasi Kerajaan Lokal di Lease
Pedagang Jawa sudah mengenal rempah-rempah dalam waktu yang cukup lama. Bahkan mereka berperan penting dalam perdagangan rempah-rempah melalui jalur Malaka dan Samudera Pasai. Setelah pedagang Arab mulai berkenalan dengan rempah-rempah dari pelaut-pelaut dan pedagang China, pada zaman Islam, pedagang Jawa-lah yang juga memperkenalkan rempah-rempah kepada mereka.

Ternate, Tidore dan Banda telah menjadi pusat rempah-rempah yang cukup dikenal dan terhubung dengan Malaka. Pada posisi itu pelabuhan Hitu di Ambon menjadi penting karena menjadi jembatan penghubung antara pusat penghasil rempah-rempah dengan pusat pasar di Malaka. Ambon sendiri tidak menghasilkan rempah-rempah, atau ada tetapi dalam jumlah yang kecil. Ambon-Lease baru menjadi penting dalam perdagangan rempah-rempah pada abad ke-16 ketika posisi Portugis goyah di Ternate, Tidore dan Hitu. Maka dalam 2 abad sebelum kedatangan Belanda, Portugis mulai menganjurkan masyarakat di Ambon-Lease menanami pohon cengkeh dan Pala. Dalam masa itu posisi Banda menjadi sentral yang cukup penting dalam menguasai jalur produksi rempah-rempah, dan turut dikontrol oleh Portugis.

Seiring dengan bertumbuhnya Malaka menjadi bandar dagang yang penting di Nusantara, maka ekspansi pedagang-pedagang Jawa ke Maluku mulai meningkat. Penguasa wilayah di Ternate justru membuat kebijakan-kebijakan penting yang mendorong munculnya abad civilisasi di kawasan kepulauan Maluku. Ridjali mencatat bahwa di bawah kekuasaan Gapi Baguna di Ternate (1432-1465), ia mengundang pedagang-pedagang China, Arab dan Jawa untuk berdagang, kemudian menetap agar mereka dapat menularkan pengetahuan dan keterampilannya yang sudah lebih maju kepada masyarakat setempat. Juga disebutkan bahwa ia mengarahkan masyarakatnya supaya menerima orang asing ini dan belajar rahasia pengetahuan mereka. Lambat laut orang Ternate tidak lagi memakai pakaian dari kulit kayu dan daun-daunan, melainkan mulai memakai tekstil yang dijual oleh China dan Arab, serta menanam kapas dan menenun kain. Mereka juga belajar membangun rumah dan perahu dengan teknik yang canggih, dan mempergunakan peralatan rumah tangga yang lebih baik.

Jejak pedagang Jawa di Ambon-Lease memang sulit ditemukan, cukup berbeda dengan orang Buton. Namun dari beberapa data yang ada, beberapa di antara pedagang Jawa yang tidak meneruskan usaha dagangnya memilih bermukim di Ambon-Lease, dan terutama dari Tuban dan Gresik. Di masa Hindu, orang-orang Jawa berhasil datang ke Maluku bersamaan dengan pamor Kerajaan Majapahit . Sedangkan orang Jawa gelombang berikutnya mulai menetap di Ambon-Lease di zaman Islam. Melalui jalur Seram Timur dan Seram Utara, seperti terlihat dari sejarah keleluhuran beberapa negeri di Ambon, orang-orang Tuban dan Gresik turut membantu proses penyiaran Islam di Ambon-Lease. Dengan demikian, melalui Hitu, sebagai Kerajaan Islam terbesar di Ambon, mereka kemudian menyebar ke beberapa daerah lainnya, termasuk di Lease. Data mengenai keberadaan mereka di Lease sedikit sulit direkonstruksi.

Namun, dalam masa Kerajaan Iha, sudah ada kontak dagang dengan Malaka. Bahkan menurut catatan Rumphius, orang-orang Iha juga turut membawa cengkeh ke Malaka; serta di sana mereka bertemu dengan pedagang China, Arab, dan Jawa. Jika kontak itu dibuka maka jalurnya pasti datang dari Ternate; para pedagang dari Jawa (Gresik, Tuban dan Banjar) juga terhubung dengan Lease melalui jalur Ternate tadi.
Dalam konstelasi hubungan itu, menarik disimak cerita keleluhuran orang-orang Ullath (Beilohy Amalatu). Dari rekaman sejarahnya, diceritakan mengenai beberapa nama turunan Nunusaku.

“Dulama Nunusaku lahir tahun 1532 dan isterinja Siti Maka Nunusaku. Sultan Hua Ali Haris lahir tahun 1557 dan insterinja Siti Kien Nunusaku. Kasale Latu Nunusaku lahir tahun 1582 dan isterinja Siti Makahalal Nunusaku isterinja jang I dan isterinja jang ke II Siti Hadjar Nunusaku. Kasale Latu Nunusaku dengan isterinja jang pertama melahirkan:
1. Seorang Puteri jang pertama dengan rombongan pergi ke Istana Buton jang melahirkan keturunan Sultan di Buton
2. Anak jang kedua berangkat dengan rombongan dan menempati negeri Buano
3. Anak jang ketiga dengan rombongan berangkat dan menempati negeri Oma
4. Anak jang keempat dengan rombongannja berangkat dan menempati negeri Ullathe

Data itu menunjukkan relasi intens dengan suku-suku di luar Maluku [dari Sulawesi dan Jawa] menjadi bagian dari sejarah dan hubungan keleluhuran [ancestor relationship] orang-orang Ambon-Lease. Suatu model pembauran yang intens [gemeinschaft] yang turut membawa berbagai perubahan dalam tata kehidupan agama masyarakat di Ambon-Lease.

Orang Ullath juga tidak menyangsikan adanya hubungan keleluhuran dari Upu Siwabessy dan Nekaulu dengan keturunan dari kesultanan Ternate. Hal ini bisa dibenarkan sebab ekspansi Kerajaan Ternate ke Saparua dan Haruku cukup tinggi dan berdampak dalam tata pemerintahan di sana. Selain itu, selain Kerajaan Iha yang bersekutu dengan Ternate, Kerajaan Alaka dan Amaika justru menjadi rival Ternate di Lease. Bahkan kedua Kerajaan ini [Amaika dan Alaka ] kemudian turut menentukan dalam sejarah ekspansi Eropa [Portugis] ke Lease. Relasi yang kemudian dikembangkan pula oleh Belanda untuk menghancurkan hegemoni Ternate dan Kerajaan Iha.

Tidak hanya itu, sikap permusuhan Eropa dengan orang-orang Saparua turut disulut oleh bangkitnya kekuatan Lokal (mis. Tuhaha) dalam membantu Kerajaan Alaka bertempur melawan Portugis. Kekuatan lokal yang sama yakni Porto dan Itawaka kemudian pula bersekutu dengan Belanda untuk menggempur Kerajaan Iha.

Dengan demikian secara politis, heroika orang-orang lokal di Lease melalui organisasi militer tradisional sudah merupakan tipikal orang Lease. Tanpa disadari, jatuhnya eksistensi Kerajaan-kerajaan Islam di Lease turut memperburuk citra hubungan antarnegeri di Lease, karena negeri-negeri yang kemudian menjadi sekutu Eropa ‘dibaptis’ menjadi Kristen. Dalam kasus ini, intensitas hubungan orang Portugis dengan masyarakat Poru Amarima, Porto, perlu diteliti secara lebih mendalam. Sebab Porto dapat disebut sebagai Jemaat Katolik pertama di Lease. Data itu diharapkan bisa menjelaskan bagaimana sampai Portugis bisa berhasil ‘membaptiskan’ Porto.

Setidaknya relasi Kerajaan Ternate ,dan komunitas dari Sulawesi Selatan/Tenggara dan Jawa dengan Kerajaan-kerajaan di Lease, dan pengaruh Eropa di Lease dapat membantu peneropongan sejarah gereja yang berlangsung dalam berbagai dinamika hubungan masyarakat dengan Kerajaan-kerajaan Islam di sana.

2.3. ‘Misi Dagang’ dalam ‘Baju Politik-Agama’
Menelusuri jejak Eropa di Maluku sama dengan menelusuri separuh dari sejarah Maluku itu sendiri, sebab Eropa silih berganti menguasai kawasan rempah-rempah ini, dan membangunnya menjadi suatu daerah koloni di Asia Tenggara.
Dua sub topik tadi, mengenai China dan Jawa memang perlu dipaparkan secara khusus karena selama ini pemahaman sejarah di Maluku terpatok dalam nederlandslogi, suatu paparan sejarah yang berpusat pada Belanda atau Eropa, padahal ada jalur lain yang lebih awal dan hampir luput dari catatan sejarah kita. Kedua jalur itu memperlihatkan suatu hal yang berbeda dalam pendekatan perdagangan, dan perdagangan yang berbau politis atau dilabeli penyiaran agama. Beta tidak akan mengulas panjang lebar tentang keberadaan Eropa dalam sejarah perdagangan rempah-rempah dan kolonialisme di Maluku untuk menghindari ‘penulisan ulang’ atau ‘dobol tindis’ atas catatan-catatan sejarah yang sudah ada. Untuk itu beta lebih cenderung memaparkan beberapa data sejarah sambil berusaha menganalisa posisi dan peran gereja [di Lease] di dalam konteks yang dihadapkan.

KESATU: Lease dan Ternate
Setidaknya posisi Ambon-Lease sudah cukup dikenal ketika Kerajaan Ternate dan Tidore memperluas sayap kekuasaannya. Posisi Ambon menjadi penting melalui Hitu yang kemudian bertumbuh menjadi sebuah Kerajaan Islam di Ambon. Dalam Hikayat Tanah Hitu, diceritakan bahwa relasi dengan Ternate dan Jailolo telah turut membawa orang-orang Hitu berlayar ke Jawa dan belajar mengenai Islam di sana. Sekembalinya mereka: ‘lalu negeri Hitupun masuk iman kepada Allah dan nabi Mohammad serta agama rasulu’llah sallah’llahu ‘alaihi wa sallam’.

Seiring dengan perluasan Kerajaan Ternate, Islam turut masuk ke Ambon-Lease. Karena jalur perdagangan rempah-rempah dari Ternate ke Malaka semakin ramai, maka kedatangan orang-orang Jawa, termasuk yang membawa agama Islam ke Hitu juga tidak terelakkan. Masyarakat Hitu mulai berkenalan dengan Islam pada abad-abad itu (abad ke-14) dan karena Kerajaan Iha merupakan salah satu sekutu Ternate, maka terbentuklah Pan Islami antara Ternate-Hitu-Iha.

Ricklefs mengatakan bahwa Islam yang masuk ke Maluku dibawa oleh pedagang muslim Jawa dan Melayu. Gelar ‘sultan’ di Ternate dan Raja Tidore yang bernama Al-Mansur adalah bukti bahwa Islam turut mengubah tatanan pemerintahan lokal setempat, dan gelar ‘radja’ diperoleh dari kontak dengan India, sebab penguasa-penguasa setempat memandang India sebagai ‘pembimbing budaya’, namun dalam hal berdagang, lebih dekat dengan China.

Perjumpaan kerajaan-kerajaan di Maluku dengan kerajaan-kerajaan dari luar Maluku (mis. Jawa) ternyata tidak mengubah struktur politik di Maluku, sebab kehidupan politik tetap berlangsung seperti lazimnya, dan tidak ada perampasan kekuasaan anggota keluarga seperti yang kerap terjadi pada kerajaan-kerajaan di Malaka, dll.

Melihat relasi Ternate-Hitu-Iha menjadi penting selain untuk melihat bagaimana Islam masuk ke Lease, tetapi juga perlawanan komunitas agama suku terhadap kekuasaan Ternate yang bertendensi Islam. Hal ini bisa dilihat dalam pertempuran kerajaan-kerajaan di Lease dengan Ternate.

KEDUA: Komunitas di dan seputar Benteng
Pada saat masuknya Eropa ke Ternate dan Tidore, kontak kedua kerajaan ini dengan Hitu dan Banda telah lama berlangsung. Seperti cerita sejarah yang ada, pertentangan politik di Ternate dengan Portugis yang mendorong Portugis menjadikan Hitu (Ambon) sebagai pangkalannya. Namun relasi dengan Hitu yang kemudian terkoyak memaksa Portugis beralih ke Leitimor, melalui Hatiwii, dan selanjutnya membangun pangkalan armada laut dan benteng baru di Ambon.

Pola pembangunan benteng ini merupakan salah satu cara memaksimalkan kontrol politik dan ekonomi terhadap daerah-daerah penghasil rempah-rempah . Cara ini kemudian dipakai Belanda saat membangun instalasi militer di seputar Benteng. Pendekatan ini rupanya berjalan efektif di Ambon untuk mengatur produksi cengkeh di Pulau Ambon, Haruku, Saparua dan Nusalaut.

Sejak zaman Portugis, benteng sudah dibangun di Ternate, Tidore, dan sampai ke Ambon (Victoria). Pada zaman VOC, eksistensi Benteng Victoria dipertahankan, dan ada pula Benteng Middelburg yang dibangun di Passo. Di Leihitu terdapat juga Benteng Amsterdam (Hila), Rotterdam (Larike), dan Leiden (Hitu Lama). Sementara di Pulau Haruku, VOC membangun benteng Zeelandia (Haruku) dan Hoorn (Kariuw). Di Saparua terdapat benteng Duurstede (Saparua), Delft (Porto) , Holandia (Ouw), dan Velsen (Nolloth). Dan di Nusalaut terdapat benteng Berverwijk (Sila).

Di Ambon, di seputar benteng terdapat instalasi militer seperti yang kini tampak pada YonKav 5 – dulu Markas 733, Markas Brimob Air Besar Passo, dan Yonif Waiheru. Pola ini tidak kelihatan di Saparua, Haruku dan Nusalaut. Artinya tidak ada instalasi militer di sekitar benteng. Dengan demikian benteng-benteng itu berfungsi untuk: (a) mengkoordinasi perdagangan rempah-rempah; (b) memudahkan kontrol terhadap para raja/orangkaya/pati – juga untuk kepentingan dagang cengkeh. Sementara di Ambon, selain instalasi militer, juga terdapat perkampungan ‘kuli’, yaitu orang-orang Ambon yang dipekerjakan di Benteng dan tenaga pendayung kora-kora hongi. Kelas sosial yang lebih mapan adalah kaum ‘burger’ , kaum ‘mardijkers’ yang dalam hal tertentu setara dengan para ‘buerger’, kemudian komunitas di dalam Benteng yang adalah orang Eropa.

Dalam kaitan dengan sejarah gereja, komunitas benteng ini harus diberikan catatan tersendiri. Awalnya kekristenan dan pelayanan rohani [kristen] hanya ditujukan kepada para penghuni benteng yaitu orang Eropa yang adalah pegawai pemerintahan dan militer yang tinggal di tangsi atau instalasi militer di sekitar benteng. Lambat laun baru orang-orang seputar benteng yaitu para Inlandsche Burger dan Chinesche Burger . Orang Ambon lokal baru mengalami sentuhan rohani kristen setelah terbentuknya jemaat-jemaat Protestan di Leitimor. Saat itu baru kekristenan keluar dari benteng dan lingkungan elite masuk ke dalam komunitas setempat.
Karena corak benteng di Saparua, Haruku dan Nusalaut berbeda dari corak benteng di Ambon, maka otomatis pelayanan rohani di dalam benteng tidak pernah keluar dari lingkungan tersebut. Di sini kita patut berterima kasih kepada para Zending yang kemudian bekerja secara intens di jemaat-jemaat setempat. Mengenai misi para Zending kita bisa merekam beberapa nama yang sangat berjasa besar a.l: Joseph Kam, Heurnius, J. Akersloot, J.F. Bormeister, J. Starink, L. Lammers dan D. Müller (1821).

Di sisi lain, seiring dengan koordinasi penanaman cengkeh dan hongi yang semakin efektif melalui jalur Saparua, maka orang-orang benteng mulai terpola dengan sistem sosial seperti di Ambon. Namun perluasan perkebunan rempah-rempah di Saparua, Haruku, Nusalaut dan Banda, membuat muncul kelas elite baru yaitu para pemilik budak, tentu tidak lain adalah para burger tadi.

Enklaar mencatat bahwa:
Di Pulau Saparua ia [Joseph Kam ] bertemu dengan beberapa orang tuan dan nyonya yang sangat simpatik terhadap pemasukan orang-orang kafir itu. Tetapi para pemilik budak tidak selalu didorong oleh semangat pekejaran injil semata-mata. Sebab siapa yang tidak mau memasukkan budak-budaknya ke dalam agama Kristen, akan sangat kehilangan hormat orang kepadanya. Pada hampir setiap perjalanan keliling di beberapa jemaat ada sejumlah orang Arafuru dan Bugis dan budak-budak yang bermacam-macam asalnya harus dibaptiskan. Di Pulau Banda gereja memperoleh banyak anggota dari antara budak-budak di perkebunan rempah-rempah.

Karena itu benteng turut menciptakan kelas elite di dalam masyarakat, dan elite itu adalah elite kristen yang bukan hanya memandang rendah agama suku [kafir] melainkan juga memandang rendah penganutnya.

Bahkan dalam satu laporan tanggal 7 Juni 1828, yang disusun oleh Magistraat (Jaksa) mengenai kesaksian dua orang budak dari L. Schmidt de Haart, Asisten Residen Saparua-Haruku, yang sedang diadili dengan tuduhan mengadakan perdagangan budak secara tidak sah. Perdagangan budak pada waktu itu berpusat di Seram Timur. Budak yang diperdagangkan di sana dibawa oleh bajak laut. Selanjutnya menurut peraturan tahun 1825 semua orang yang berstatus budak harus dibebaskan dan perdagangan budak dilarang keras.

KETIGA: Relasi dengan Benteng
Dalam kaitan dengan fenomena ekonomi dan politik dalam konteks sejarah gereja di Lease, penting pula dicatat bagaimana reaksi orang-orang Lease terhadap kebijakan benteng yang tidak menguntungkan masyarakat, serta tentu tidak menguntungkan eksistensi kekristenan di jemaat-jemaat setempat.

Kebijakan menyatukan Governement der Molukken yang semula berpusat di Ternate; Gouvernement van Amboina berpusat di Ambon dan mencakup Maluku Tengah; serta Gouvernement van Banda berpusat di Banda dan mencakup Malra dan MBD; menjadi Gouvernement van Molukken yang berpusat di Ambon pada 1817, adalah suatu kebijakan yang bertujuan untuk mengendalikan semua jalur perdagangan rempah-rempah dan koordinasi pemerintahan pada satu tangan yakni Belanda.

Karena pusat pemerintahan dipegang sepenuhnya oleh Gubernur di Ambon, maka seluruh koordinasi pemerintahan berlangsung di Ambon. Ini membuat tingkat migrasi orang Lease, Maluku Tenggara, dan Ternate ke Ambon menjadi cukup tinggi. Hal mana turut menjadi alasan mengapa gereja di Ambon jauh lebih berkembang dari di daerah-daerah penghasil rempah-rempah.

Namun, posisi Haruku dalam saat itu cukup menentukan eksistensi pekabaran injil di Maluku. Dalam suatu perselisihan antara orang-orang Kaibobu dengan Pendeta Zending J. Akersloot, raja-raja di Haruku, Sameth dan Aboru menulis surat kepada Residen Haruku (12 November 1822) yang mengadukan tindakan raja Kaibobu mengusir Akersloot. Diadukan bahwa raja tidak suka kepada injil karena masih menganut agama suku, tetapi masyarakat bersedia menerima Akersloot. Hasilnya justru cukup menarik disimak, yakni atas Putusan Residen Haruku 25 Februari 1823 No. 467, raja Kaibobu diberhentikan dari jabatannya sebagai raja.

Struktur pemerintahan adat yang selama ini dikoordinasi melalui lumatau berubah secara drastis di zaman Belanda. Karena itu Gubernur di Ambon sangat berperan penting dalam mengatasi berbagai masalah di setiap negeri.

Beberapa bentuk masalah yang dialami negeri-negeri di Lease dan dilaporkan ke Gubernur di Ambon, a.l:
Pemberhentian 3 kepala soa : Keputusan Gubernur tertanggal 13 Januari 1865 No. 140 tentang pemberhentian 3 kepala soa dari negeri Oma (Pulau Haruku) yaitu: a). Benjamin Patikawa untuk soa Pattikawa; b). Hermanus Kaijhatu untuk soa Parij dan c). Abraham Hukom untuk soa Tunij, karena dituduh sebagai pemimpin huru-hara pada tanggal 29 Desember 1864, dan dihukum penjara 3 bulan dan pengangkatan a). Dominggos Kaijhatu sebagai kepala untuk soa Parij dan b). Daniel Hukom sebagai kepala untuk soa Tunij

Sistem peradilan: Landraad, yang diadakan untuk penduduk negeri (sudah ada sejak abad ke-17) – Gubernur Ambon sebagai ketua. Groote Landraad di setiap wilayah Asisten Residen (Saparua dan Hila). Kedua adalah Raad van Justitie di Ambon yang diketuai oleh Gubernur. Di Maluku Tengah ada dua instansi peradilan lain dan tidak termasuk dalam perkembangan sistem hukum Barat, yaitu Regentsraad: badan yang ketentuannya dijamin dalam Peraturan 1824, diketuai oleh Penguasa Negeri yang bersangkutan (Raja, Pati atau Orangkaya), dengan para kepala soa dan Tuagama (di negeri Kristen) atau Imam (di negeri Islam) sebagai anggotanya. Badan ini menangani perkara-perkara kecil, dalam hal perdatau maupun pidana landasan yang dipakai adalah adat. Sistem hukum dan peradilan tradisional kedua adalah Saniri yang rupanya hanya terdapat pada kalangan suku-suku Wemale dan Alune di Seram Barat yang menganggap dirinya termasuk Patasiwameten.

Contoh masalah pengaduan hukum: surat E.C. van Capelle, janda Johannes Salomon Kesaulya (Raja negeri Sirisori) yang maju bersama tentara Belanda di bawah pimpinan Mayor Beetjes pada saat mengerang pasukan Pattimura di Waisisil pada pertengahan bulan Mei 1817. Surat ini ditujukan kepada J.A. Neijs, Residen di Ambon dengan isi: pengaduan tentang perampasan harta milik almarhum suaminya di saat memuncak perang Pattimura. Barang yang disita itu adalah: pedang, obat senapan, pisau, teropong, uang, pakaian dan minuman anggur serta arak, dll. Perampasan itu dilakukan utusan Pattij Ouw pada 20 Mei.

Kontrol penduduk (razia) sudah terjadi pada 25 September 1829 – perintah dari Groote Landraad Ambon 25 September 1829 – ada desas-desus tentang akan meletusnya suatu pemberontakan oleh bekas pasukan Pattimura yang masih bersembunyi di perbukitan. Setelah meyakini hal itu ia mengumpulkan para penguasa desa dan memerintahkan agar melaporkan setiap orang yang tidak sah dalam desanya. Dari seorang yang ditawan ia mendapat kabar bahwa soldadu-soldadu Saparua di Ambonlah yang merupakan perencana pemberontakan itu.

KEEMPAT: Reaksi Terhadap Benteng
Sejarah gereja di Saparua tidak bisa dilepaskan dari pecahnya perang Pattimura. Saya tidak mengulasnya lagi karena telah ada dalam berbagai dokumen sejarah yang khusus tentang itu.

Selama satu tahun (1817-1818), aktifitas gereja yang selama ini dijalankan oleh Pendeta Joseph Kam pun mandeg. Ia bahkan harus kembali dari perjalanannya ke Saparua karena ada perang yang dikomandoi Kapitan Thomas Matulessy yang berhasil pula menghimpun kapitan-kapitan dari negeri Salam dan Sarane di Nusalaut dan Haruku.
Perjuangan merebut Benteng Duurstede adalah simbolisasi dari protes orang Lease terhadap kebijakan pemerintah (terutama di bidang ekonomi) yang memiskinkan orang-orang Lease. Di sisi inilah kita perlu memberi catatan kritis mengenai bagaimana sikap orang-orang Salam dan Sarane di Lease terhadap kolonialisme.
Ada faktor kesadaran lokal yang mampu membentuk suatu pemahaman dan sikap bersama untuk melawan kolonialisme. Kita melihat dalam masa itu tidak ada pemikiran dikotomi agama. Suatu pembelajaran positif yang bisa menjadi point kritik terhadap orientasi beragama di Maluku saat ini.

Perang Pattimura merupakan momentum yang menarik untuk menyimak kembali pemaknaan Kristen dan Islam di Lease [dan Maluku].

2.4. Gereja-gereja di Lease dalam Konteks Indonesia
Kini kita dituntut untuk melihat bagaimana eksistensi gereja-gereja di Lease dalam konteks Indonesia merdeka. Beberapa buku mengenai Lease sudah cukup baik memaparkan hal ini. Karena itu apa yang hendak diurai di sini hanyalah sebuah upaya membangun lagi kesadaran sejarah kita dengan melihat:
- Bagaimana Gereja di Lease bertumbuh dalam lingkungan kebudayaan setempat.
- Bagaimana Gereja di Lease dalam konteks pluralisme agama
- Bagaimana Gereja di Lease dalam konteks perubahan politik lokal, seiring dengan pemekaran Kecamatan
- Bagaimana Gereja di Lease membangun suatu jaringan kemitraan antarpulau dalam berbagai aspek: ekonomi, politik, sosial, budaya, dll
- Bagaimana Gereja di Lease turut menyikapi ketertinggalan masyarakat, kemiskinan, dll

Beta sadar bahwa point-point itu adalah pokok-pokok pikiran untuk dikembangkan dalam kerangka membangun suatu kesadaran sejarah baru di tengah konteks Indonesia. Suatu kesadaran sejarah bahwa kita bertumbuh dari basis-basis kultural yang tidak bisa dilepaskan begitu saja. Apa yang selama ini menjadi debat Injil-Kebudayaan adalah suatu fenomena yang tidak usah sampai mengusik cara beragama kita. Sebaliknya harus selalu dilihat sebagai bagian dari dinamika pergumulan sejarah yang terus berubah ke depan.

Demikian yang sempat beta sampaikan!

3. Buku Rujukan:
Abdurahman, Paramitha, “The Wind, New Faces, New Forces”, dalam Paramitha R. Abdurachman, Bunga Angin Portugis di Nusantara: Jejak-jejak Kebudayaan Portugis di Indonesia, Jakarta: Obor dan LIPI, 2008
Abineno, J.L.Ch., Sejarah Apostolat di Indonesia II/1, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1978
Alwi, Des, Sejarah Maluku: Banda Naira, Ternate, Tidore dan Ambon, Jakarta: Dian Rakyat, 2005
Andaya, Leonard, The World of Maluku: Eastern Indonesia in Early Modern Period, Honolulu: University of Hawaii Press, 1993
Braudel, F., The Wheel of Commerce, terj. Silân Reynolds, Fontana, 1985
B.S.S.U, Dari Gunung Turun ke Pantai Sampai Djadinja Negeri Ullath, Culemborg, Holland: I.S.D.M, 1990
Chauvel, Richard, Nationalists, Soldiers and Separatists: The Ambonese Islands From Colonialism to Revolt, 1880-1950, Leiden: KITLV Press, 1990
Departemen P&K, Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Sejarah Daerah Maluku, Jakarta: Dep.P&K, Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, 1976/1977
Enklaar, I.H., Joseph Kam Rasul Maluku, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1980
Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, edisi kedua, Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 2003
Leirissa, R.Z., et.al (red.), Maluku Tengah di Masa Lampau: Gambaran Sekilas Lewat Arsip Abad Sembilan Belas, Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, 1982
Leirissa, R.Z., et.al., Ambonku doeloe, kini, esok, Ambon: Pemerintah Kota Ambon, cetakan pertama, Maret 2004
Manusama, Z.J., Hikayat Tanah Hitu, copyright, 1977
Menzies, Gavin, 1421 Saat China Menemukan Dunia, [terj. Tufel Najib Msyadad], Jakarta: Pusat Alvabet, September 2006
Ricklefs, M.C., Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Jakarta: Serambi, cetakan II, 2005
Sanneh, Lamin, Encountering the West: Christianity and the Global Cultural Process, Maryknoll, New York: Orbis Books, 1993
Suantika, I Wayan, Berita Penelitian Arkheologi (Vol 1 No 1 Agustus 2005
Tjandrasasmita, Uka, “The Introduction of Islam and the Growth of Moslem Coastal Cities in the Indonesian Archipelago”, dalam Dynamics of Indonesian History, edited by. Haryati Soebadio & Carine A. du Marchie Sarvaas, North Holland Publ. Co., Amsterdam, 1978
Vlekke, Bernard H. M., Nusantara Sejarah Indonesia, Jakarta: KPG, cetakan kedua, Juni 2008
Wachterhauser, Brice R., “History and Language in Understanding”, dalam Hermeneutics and Modern Philosophy, edited by. Brice R. Wactherhauser, New York: State University of New York, 1986
Wairisal, L.D., Saparua, Kota Pahlawan Pattimura, dengan Kepulauan Lease dari Masa ke Masa,Jilid II, Yayasan Ina Hasalaut, cetakan pertama, Agustus 2005

You Might Also Like

0 komentar