RITUS NEGERI ENAM BULAN DI NEGERI TUHAHA
10.01Tulisan ini ingin memberikan perhatian antropologi terhadap tatanan adat dan pemaknaan budaya Ibadah negeri enam bulan bagi orang Tuhaha yang mengekspresikan bentuk kesepatan yang mengarah pada integrasi sosial masyarakat. Arah kajian ini sebenarnya akan dihentar untuk memahami bentuk solidaritas bersama dari bentuk real kondisi masyarakat Tuhaha dalam kesepakatan sehingga menjadi bentuk kepercayaan yang rutin dilakukan.
Sebenarnya untuk mengungkapkan secara langsung bahwa menjadi bagian dalam berjumpaan langsung sebagai anak Negeri tidaklah demikian, tetapi tulisan ini merupakan hasil penelitian langsung yang pernah dilakukan dalam rangka melakukan sebuah tulisan singkat sebagai dokumentasi pribadi. Untuk mengulang kenangan ini, sengaja disampaikan dalam ulang pada ulasan tugas antropologi.
A. Arti sebuah nama
@.Tuhaha
Di dalam memberi arti kepada ungkapan ini terdapat dua pendapat yang dikemukakan. Kedua pendapat ini sama-sama berangkat dari cara pemecahan dan pendekatan yang sama, yakni melalui telusuran secara etimologis. Pendapat pertama menyatakan bahwa kata Tuhaha berasal kata Tululau yang berarti kegiatan dalam gerakan turun ke bawah. Haha yang artinya pantai selaku daerah sasaran terbawah.
Jadi Tululauhaha berarti turun ke pantai.[1]Ungkapan ini untuk menggambarkan gerakan yang dilakukan oleh para datuk untuk mengambil tempat kediaman di daerah pantai. Dalam kelanjutannya ungkapan ini mengalami perpendekan Tululauhah menjadi Tuhaha.
Pendapat yang kedua menyatakan bahwa kata Tuhaha bersal dari kata Tolu yang berarti tiga. Pengertian ini menunjuk pada kesatuan tiga negri lama, yang lazim dikenal dengan sembutan Pintu Muka. Ketiganya adalah : Huhule, Ampatal dan Talehu. Haa yang berarti empat. Pengertian ini menujuk pada kesatuan empat negeri lama lainya, yang lazim dikenal dengan sebutan Pintu Belakang. Kempatnya adalah : Apalili, Amapano, Matalete, Tahapo.
Jadi Tuluhaa menggambarkan kesatuan dari ketujuh negeri lama itu. Dalam perkembangannya ucapan Tuluhaa juga mengalami kependekan menjadi Tuhaha.
@.Beinusa
Kata Beinusa merupakan nama teon dari negeri Tuhaha. Kata Beinusa agaknya merupakan kata yang lebih sering digunakan di dalam acara-acara upacara adat. Di dalam hal seperti yang diungkapkan ini dapat dilihat keistimewaan ungkapan Beinusa dari pada orang Tuhaha. Secara etimologis beinusa terdiri dari bagian kata, yakni; -Bei yang berarti bisa, -Nusa yang artinya pulau.
Dari sisi etimologis yang satu ini muncul dua pengertian pula. Arti yang pertama menggambarkan kemenangan atau keberhasilan para datuk yang karena keperkasaannya bisa menguasai dan memiliki bagian pulau (saparua) ini. Artinya yang kedua lebih menggambarkan keperkasaan para datuk yang mendiami bagian pulau ini yang akan dapat melucuti segala kejahatan dari para musuh yang akan datang mengganggu penduduk di sini. Kejahatan para musuh ini diungkapkan di dalam kata bisa, racun ular yang mematikan itu.
@Olono
Saat ini sebutan Olono memunculkan bayangan kepada sebuah jembatan atau sungai yang terletak di bagian selatan perkampungan. Olono bersal dari kata “Ulalono” yang berarti basuh kepala. Kepala yang dimaksudkan adalah kepala yang akan ditempat di baileo.
Dalam alam pikiran masyarakat seuku di kenal adanya kuasa atau kekuatan yang terbesar di berbagai benda, yang di dalam dinamisme diketahui sebagai yang tidak berpribadi tetapi di dalam animism dikenal sebagai yang bepribadi.[2] Khusus di dalam animisme, yang berpribadi itu dengan kekuatan bekerja atas manusia karena kehendaknya dan manusia mengalaminya sebagai kesewenangan yang tak dapat dikuasainya.
Bagi generasi Tuhaha sekarang dikenal juga apa yang dimaksud dengan totem itu. Memang saat ini hanya terdapat beberapa keluarga saja yang masih dapat mengetahui totem keluarganya, bahkan orang dari keluarga lainpun menegtahui totem dari keluarga yang bersangkutan.
B. Ritus (Ibadah) Enam Bulan
Secara keseluruhan Ibadah Negeri Enam Bulan terbagi atas du bahagian. Pertama dilakuakan pada waktu pagi sedangkan yang kedua dilakukan pada waktu petang. Waktu pelaksanaanya adalah sekali dalam enam bulan, biasanya ditetapkan pada hari minggu terakhir dari bulan juni dan bulan desember.
Lazimnya sebelum tiba pelaksanaan ibadah dimaksud, lebih dahulu diadakan persiapan baik oleh pemerintah desa (negeri) maupun oleh pihak mejelis jemaat. Persiapan itu terutama penetapan person untuk melakukan tugas memimpin ibadah maupun tugas mengumpul korban jemaat. Selengkapnya pelaksanaan Ibadah Negeri Enam Bulan adalah :
1) Pelaksanaan Pagi
Pada hari minggu pagi, sekitar pukul 06.00 atau 06.30 WIT anggota staf pemerintah desa (negeri) dan anggota dari majelis jemaat sudah bersiap di konsistori (kantor Majelis Jemaat). Sesudah berdoa kemudian mereka berpencaran ke seluruh bagian perkampungan rumah anggota masyarakat atau anggota jemaat, sesuai dengan pembagian yang telah di lakukan. Biasanya seorang anggota majelis jemaat (pihak gereja) didampingi oleh seorang anggota staf pemerintah negeri. Mereka berpencar kemudian mendatangi rumah-rumah anggota jemaat atau masyarakat untuk megumpulkan korban persembahan yang berupa uang.
Untuk kebutuhan pengumpulan itu, pengumpul biasanya membawa sebuah mangkok berwarna putih[3] dengan ukuran likarannya sekitar 15 atau 20 cm. Mangkok ini milik gereja dan disimpan dikantor mejelis jemaat. Di samping itu sebagai penutup mangkok digunakan lenso berang,[4] yang berwarna merah dengan hiasan bunga-bunga berwarna biru. Lenso berang dengan bentuk bujur sangkar sekitar 25x25 Cm itu adalah milik pribadi masing-masing pengumpul, yang baru dibawah apabila akan digunakan dan akan dibawah pulang lagi setelah digunakan.
Sewaktu menandatangani rumah anggota masyarakat atau jemaat mereka hanya mengunakan waktu yang sangat singkat. Mereka ketika itu hanya menegur tuan rumah yang didatangi itu, dan tuan rumah yang sudah lebih dulu bersedia itu ssudah mengetahui kawajibannya lalu segera menyerahkan uang yang telah disiapkan itu. Uang itu dimasukkan sendiri oleh pemberinnya ke dalam manggkuk itu. Sesudah itu pengumpul segera meninggalkan rumah itu.
Para pengumpul akan segera kembali lagi ke konsistori bila ia mendatangi seluruh rumah di dalam derah pembagiannya. Bilamana para pengumpul sudah kembbali pulang ke rumah mereka masing-masing. Setelah selesai seluruh kegiatan itu barulah dibunyikan lonceng untuk pelaksanaan Ibadah minggu Pagi. Bilaman terjadi kelambatan dalam hal-hal tertentu, sekalipun pengumpul belum kembali seluruhnya ke konsistori lonceng sudah berbunyi lebih dahulu dibunyikan.
2) Pelaksanaan petang
Sebagimana pelaksanaan Ibadah yang lainnya, demikian juga menjelang di lakukan Ibadah Minggu Bulan Enam, lonceng gereja dibunyikan. Lain halnya denga pelaksanaan waktu pagi, menjelang iabdah berlangsung pihak pemerintah negeri tidak berkumpul di konsistori, mereka melakukan persiapan di kantor pemerintah negeri. Sedangkan pihak majelis jemaat tetap di konsistori. Di tempat yang terpisah itu mereka kemudian akan berdoa sebelum melaksanakan ibadah bersma.
Menjelang lonceng ketiga kali dibunyikan pihak pemerintah negeri secara bersamaan berjalan menuju gedung gereja tempat ibdahnya dilakukan, sementara anggota majelis jemaat sudah bersedia berdiri berbanjar di depan di depan pintu gereja. Sewaktu orang pertama dari pihak pemerintah negeri sudah mendekati pintu masuk, maka lonceng ke tiga dibunyikan. Pemerintah negeri yang akan masuk ke dalam gedung gereja berjabatan tangan dengan pihak majelis jemaat, yang sudah siap itu. Sesudah itu barulah mereka bersma-sama masuk. Jabatan tangan yang dilakuakan itu berada dalam prinsip bahwa pihak majelis jemaat menyambut pihak pemerintah negeri. Hal ini pertanda bahwa mereka adalah pihak yang bersama-sama bertanggungjawab ats kehidupan umat.
Di dalam gedung gereja telah disiapkan tempat khusus baik bagi pemerintah negeri maupun majelis jemaat. Temapat itu berada pada bagian tenggah dari tiga banjar kursi yang ada di gedunng gereja dan paling depan. Ini pula merupakan tanda bahwa mereka adalah pimpinan umat yang bertanggujawab atas kehidupan atas umat.
Ibadah itu pada mulanya dipimpin oleh anggota dari pemerintah negeri, dengan menangani vorum-salam, nyanyian jemaat, pembacaan latar belakang peristiwa ibadah bulan enam. Seiring dengan nyanyian jemaat berikutnya pimpin ibadah dialihkan dari pemerintah kepada majelis jemaat. Pihak majelis jemaat selanjutnya meminta pemabacaan alkitab, nyanyian jemaat, doa, doa syafaat, khotbah, nyanyian jemaat dan permohonan berkat.
Sesuai ibadah, kedua pihak saling berjabatan tangan sbelum pihak pemerintah negeri kembali ke kantor pemerintah negeri. Di kantor pemerintah negeri itu pula pihak pemerintah negeri mengadakan doa pengucapan syukur, sementara pihak majelis jemaat mengadakan doa yang sama di konsistori.
Hal yang perlu ditambahakan pula di dalam bagian ini adalah bahwa hasil pengumpulan dari masing-masing keluarga dalam bentuk uang itu sepenuhnya menjadi milik dari pihak majelis jemaat.
C. Ritus Negeri Enam Bulan; Memperkokoh Solidaritas Persaudaraan
Manusia dalam hidupnya menyadari bahwa teradapat satu kuasa atau kekuatan yang berasal dari luar dirinya senadiri. Kuasa atau kekuatan itu pada dasarnya melebihi kuasa atau kekuatan manusia. Selebihnya kuasa atau kekuatan itu merupakan sesuatu yang mempengaruhi diri manusia sendiri dengan segala keberadannya. Kecenderunngan manusia itu selanjutnya muncul dalam berbagai perilaku yang serba religi atau religious behavior.Selanjutnya apabila kelakuan yang serba religi ini di lakukan menurut tata kelakuan yang baku dikenal dengan sebuatan upacara keagamaan atau ritus.[5]
Dalam memberi arti atau batasan arti dari ibdaha maka Poerwadarminta menjelaskan bahwa ibadah berarti kebaktian kepada Tuhan atau perbuatan sebagainya untuk menyatakan bakti kepada Tuhan.[6] Ibadah yang dimaksudakan dalam bagaian ini pada prinsipnya sama dengan apa yang disebutkan di atas, yang menggambarkan pengakuan manusia bahwa adanya pihak lain di luar diri sendiri, yang kepadanya manusia menunjukan kecenderungan menghormati atau berbakati.
Dalam pelaksananaan, telah membentuk kesedaran kekuasaan yang lebih tinggi sehingga lebih cenderung memposisikan diri pada masyarakat yang cenderung menyifatkan kesalah masyarakat yang menuntut melakukan sebuah perbaikan terhadap kesalahan itu. Untuk melakuakan itu ada sebuah keyakinan yang mendalam sebagai pegangan masyarakat secara kolektif, keyakinan itu berbentuk konsukwensi hukum dari pada pelanggaran yang dilakukan. Keyakinan itu merupakan lebih bersifat Imperatif atau sebuah keharusan untuk dilaksanakan. Sehingga konsukwensi ini harus dipahami secara mendalam dari bentuk-bentuknya.
1. Berkat dan Kutuk
Dalam agama suku dikenal adanya norma atau tata-tertib yang telah ditetapkan sejak awal. Tata-tertib ini menja ini menjangkau seluruh alam semesta dan hubunngan-hubungan yang terjalin diantara segala hal yang terdapat di dalam alam semesta ini. Telah dikatakan bahwa di dalam agama suku manusia memahami bahwa dirinya hanya merupakan salah satu subjek dari subjek-subjek lain. Dengan demikian tata-tertib yang dimaksud juga menjangkau manusia didalam hubungannya dengan subjek-subjek yang lain itu.
Terdapat juga kepercayaan bahwa fungsi mengawasi tata-tertib alam itu telah diserahkan oleh ilah tertinggi kepada nenemoyang. Fungsi pengawasan bertujuan melindung alam yang telah ditetapkan didalam kelangsungannya sejajar dengan tata alam itu.
Manusia yang berada di dalam keterikatan dan hubngan yang erat dengan ilah, roh dan alam semesta mempunya tanggungjawab untuk memelihara tata-tetrtib alam itu. Dalam hubungan ini keterikatan seorang dengan sukunyapun dengan totalitas yang kuat itu, kemudian mencirikan agama suku sebagai agama hokum, peneyruhan dan larangan dalam hal ini yang sangat menentukan adalah etos yaitu penurutan terhadap adat atau tata ilahi dan penurutan terhdap kewajiba-kewajiban kultus dalam masyarakat.
Mematuhi dan menjalankan segala ketentuan yang telah ditetapkan oleh nene-moyang mengakibatkan tetap terjaminnya kelangsungan tata alam bahkan mereka akan memperoleh jaminan hidup atau berkat dengan segala hal yang menjamin kelangsungan hidup mereka sendiri. Sebaliknya dengan tidak mematuhi ketetapan-ketetapan itu mengakibatkan mereka akan mengalami kegagalan dalam hidup yang membawa penderitaan bahkan kematian.
2. Persembahan
Telah dijelaskan bahwa manusia berada di dalam totalitas, yang berhubungan dengan ilah, roh-roh tetapi juga alam semesta. Pengkuan terhadap adanya hubungan ini secara konkrtit diungkapkan dalam upacara-upacara tertentu termasuk di dalamnya korban. Adapun alas an yang melatbelakangi persembahan korban, terbagi dalam beberapa alas an. Terdapat kepercayaan yang memahami bahwa ilah memiliki sifat-sifat tertentu yang sama dengan manusia. Dalam kesamaan sifat demikian ilah dipahami juga mempunyai kebutuhan tertentu, termasuk kebutuhan makan. Karena itu terdapat upaya manusia untuk mempersembahkan bahan-bahaan tertentu yang diperolehnya di dalam usaha hidup sehari-hari. Termasuk dalam hasil-hasil pertanian, peternakan dan lain-lain.
Selain dari persembahan yang mengunngkapkan hubungan persekutuan terdapat pula persembahan yang diakibatkan oleh satu perbuatan atau rasa bersalah dari manusia terhadap ilahnya. Rasa bersalah yang dimaksud terutama sebagai pelanggaran terhadap adat atau aturan hidup yang dipahami sebagai aturan yang ditetapkan oleh ilah. Persembahan tersebut dimaksud untuk menenangkan dan menyenakan hati ilah yang kecewa karena kesalahn yang manusia buat.
3. Menuju Intgarasi dan solidaritas kekeluargaan
Aspek integarasi bisa dipahami secara sederhana bahwa merujuk pada bentuk utuh dari sebuah tatanan masyarakat sosial yang kuat. Tetapi penting di ketahui dalam konteks dan pergumulan masyarakat itu menuju intgrasi, apa penyebabnya.
Sebagai sebuah sistem sosial tradisional masyarakat Tuhaha yang disatukan oleh hubungan keluarga, komunitas dan keimanan agama, menuju pada suatu pola kontrak dimana kepentingan pribadi dan kepentingan hungan kolektif.[7] Bahwa keharusan berkumpul dan melakukan Ibadah Negeri Enam Bilan adalah gagasan keyakinan individu yang mengarahkan pada kepentingan yang sama sebagai sistem kepercayaan yang kolektif.
Arah kepentingan bersama untuk melakukan keharusan ibadah telah membentuk masyarakat dalam sebuah integrasi persekutuan anak-anak Tuhaha dari temurun datuk-datuk Tuhaha. Komunitas itu terbentuk dengan idiom pemersatu “Anak Beinusa Boleh”.[8] Integrasi pesekutuan itu menjadi modal persektuan. Aspek penting dari ibadah adalah bentuk ritus yang membentuk menjadi sebuah persekutuan moral yang mengarahkan pada taat asas.
Durkheim berpendapat, hakikat masyarakat adalah solidaritas sosial. Gagasan kelompok membentuk struktur-struktur yang mendasar pada kehidupan seperti kewajiban moral. Ada perbedaan yang menarik antara masyarakat primif dan masayakat modern dimana mereka mencoba untuk mencapai kesatuan mereka, kecenderungan bersandar pada solidaritas mekanik.[9] Perilaku yang baik diperoleh dengan memberikan hukuman keras kepada setiap orang yang melanggar kode moral kelompok.
Moralitas, kawajiban tiap orang dan standar bagi semua anggota kelompok masayakat Tuhaha tak dapat dipisahkan dari agama atau persekutuan. Kelihatan bahwa solidaritas atau kode kelompok menjadi bentuk perasaan yang mendalam secara bersama dari aspek kewajiban melakukan Ritual Negeri Enam Bulan maka terbentuklah sebuah suasana dan kondisi kekeluargaan sebagi bentuk masyarakat yang mencoba mencapai integarasi sebagai sebuah suasan kekeluaragan atau kekerabatan Negeri.
D. Kesimpulan
Ritus negeri enam bulan merupakan keharusan atau kewajiab yang harus dilakukan sebagai bentuk penjagaan stabilitas dan kedamain kolektif dari masyarakat Tuhaha. Ritus ini mengarahkan masyarakat dalam keyakinan sebagai sebuah keyakinan untuk tetap menjaga kehidupan mereka. Dengan demikian ritus negeri enam bulan adalah cara menjaga keharmonisan antara hubungan vertical dengan datuk-datuk dan secara horizontal antara sesama keluaraga atau persekutuan masayarakat Tuaha.
Demikian seadanya beberapa kajian yang dapat saya ketengahkan, semoga bermanfaat dan mendorong rasa keingintahuan yang lebih mendalam lagi.
Sumber : http://ronnymalahori.blogspot.com/2011/06/ritus-negeri-enam-bulan-di-negeri.html?zx=6f6e77d65c397deb
Catatan Kaki :
[1] Memperkenalkan Jemaat Tuhaha (Buku Pandu Sidang Raya X DGI), Tuhaha, september 1984, hlm.1
[2] A.G. Honig. Ilmu Agama. Cetakan ke II, Jakarta, Bpk, 1966, hlm.46
[3] Mangkok putih yang digunakan itu adalah benda-benda yang pada mulanya digunakan untuk melakukan sala satu acara adat, tetapi karena pemiliknya yang tidak bermaksud untuk melakukan acara itu lagi maka diserahkan kepada pihak gereja.
[4] Lenso berang adalah sepenggal kain berwarna merah yang biasanya juga digunakan utnuk melaksanakan salah satu acara adat. Dapat dikenakan di leher tetapi juga di tangan.
[5] Kuntjaraningrat: Beberapa pokok Antropologi Sosial, Cetakan I, Jakarta, Dian Rakayat 1967, hlm. 230
[6] Poerwadarminta: Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, PN Balai Pustaka, 1976, hlm. 367
[7] Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion , qalam ; Yogyakarta, 2001.hlm.156
[8] Idiom ini merupakan bentuk ekslusifisme dari semangat integrasi perekutuan itu.
[9] Ibdid.,hlm.159
0 komentar