RAPIA HAINUWELA : Asal-Muasal Perpecahan di Nunusaku (Versi Negeri Amahai)

19.34


Suatu mitos atau cerita yang diyakini benar adanya oleh suatu kelompok masyarakat tertentu yang berhubungan dengan jati diri dan identitas masyarakat itu dapat saja hadir dengan versi-versi yang berbeda.
Setelah saya menelusuri cerita tentang Nunusaku dan pemencaran masyarakat keluar dari tempat sakral pertama itu, maka cerita tentang Rapia Hainuwela / Hainuwele mendapat tempat yang utama sebagai asal-muasal terpencarnya masyarakat itu. Cerita ini pun hadir dengan versi-versi yang berbeda tetapi memiliki alur dan konteks yang sama.
Saya hendak menghadirkan versi Rapia Hainuwela menurut Cerita dari Negeri Amahai, seperti ini:

Nunusaku atau Beringin Sakti adalah salah satu tempat di pusat pulau Seram yang diyakini sebagai tempat asal manusia di seantero Maluku oleh orang-orang Maluku. Dinamakan Nunusaku karena pada tempat itu tumbuh sebatang pohon beringin yang sakti, yang sulit ditemukan oleh orang-orang yang bukan asli Nunusaku. Dari Nunusakulah terpancar ke luar, ke berbagai tempat di Maluku, orang-orang Maluku. Cerita tentang perpencaran orang-orang Maluku ke luar dari Nunusaku itu dikenal dengan cerita Rapia Hainuwela.

Persatuan di Nunusaku sukar dipertahankan. Karena perbedaan, perpecahan tidak dapat dijembatani lagi. Orang mulai berbondong-bondong meninggalkan Nunusaku.
Asal-muasal perpecahan yang mengakibatkan perpencaran itu adalah sebagai berikut:
Seorang Upu Latu (pimpinan adat) yang bernama Tuwale, artinya matahari, tidak mempunyai anak. Ia dan istrinya selalu merindukan mempunyai seorang anak, tetapi kerinduan itu tidak pernah menjadi kenyataan.

Tuwale adalah seorang yang senang menyadap tandan atau mayang kelapa untuk diambil niranya (sageru). Pada suatu hari, ia pergi menyadap (tipar) mayang kelapa. Malang baginya, tangan kirinya tersayat pisau tipar yang tajam dan darah akibat sayatan itu tumpah, masuk ke dalam tabung bambu yang digunakan untuk menampung nira hasil sadapan. Keesokan harinya, Tuwale kembali untuk mengambil nira. Ketika hendak menuangkan nira kelapa, tiba-tiba terdengar seruan: “siramlah baik-baik, karena saya berada di sini, saya adalah campuran antara darahmu dan air nira kelapa”. Dengan penuh gembira tetapi was-was, Tuwale sangat berhati-hati mengeluarkan isi tabung itu. Dengan tercengang ia melihat keluar seorang bayi mungil yang cantik jelita. Telapak kakinya hampir menyerupai buah kelapa. Bayi mungil itu dibawa pulang dengan sukacita. Setiba di rumah, bayi itu diserahkan kepada istrinya, diiringi cerita tentang apa yang pernah terjadi. Istrinya menerima bayi mungil yang cantik itu dengan gembira. Mereka kemudian menamakan dia RAPIA HAINUWELA (RH) = Putri Kelapa

Rapia Hainuwela dipelihara dengan penuh kasih sayang. Dalam pertumbuhannya, RH menjadi seorang putri yang cantik jelita. Ketika beranjak dewasa, tampaklah parasnya yang belia dan ceria. Mata dan raut wajahnya laksana bidadari yang tak ada tandingannya di pedalaman Pulau Seram – Nunusaku itu. Sudah banyak orang, tua-muda bertandang ke rumah Tuwale hanya untuk menyaksikan kecantikan RH. Kedua orang tuanya pun menyadari bahwa sudah saatnya putri mereka itu dipertunangkan. Masalahnya adalah sangat banyak orang yang memiliki keinginan untuk mempersunting RH menjadi istri. Oleh karena itu, orang tua RH kemudian membuka kesempatan kepada siapa saja untuk mengajukan lamaran dan akan diseleksi. Dibentuklah panitia seleksi yang kemudian merancang bentuk seleksi dan mengumumkan bahwa ada beberapa jenis pertandingan yang harus diikuti oleh setiap pelamar untuk menentukan siapa yang berhak bertunangan dan mempersunting RH menjadi istri.

Tiba pada hari-hari pertandingan, semua orang menyambut gembira pertandingan itu karena sang putri sebagai hadiah yang ditawarkan turut hadir untuk memberikan semangat kepada semua peserta. Ketika pertandingan demi pertandingan berjalan beberapa hari, terlihat bahwa banyak sekali peserta yang berguguran satu demi satu. Walaupun kecewa, mereka tidak menunjukkannya dan tetap menghadiri sayembara itu karena ingin melihat sang putri yang tetap hadir. Akhirnya, pertandingan atau sayembara itu dimenangkan oleh seorang pemuda yang kekar, gagah, tinggi dan berparas menarik. Sang pemuda itu bernama Litiloly (L). Walaupun L keluar sebagai pemenang, dia belum terlalu senang karena dia harus memperlengkapi dirinya dengan berbagai penangkal yang bakal datang menimpa dirinya kelak. Sebagai seorang laki-laki, orang tuanya mempersiapkan dia dengan segala pelengkapan dan “pakaian laki-laki” yang ada. Persiapan-persiapan itu dilakukan sematang mungkin karena L setelah memenangkan sayembara, bukan saja akan menjadi suami dari RH, tetapi ia akan menjadi Kapitan Besar menggantikan ayah sang putri. Sebagai seorang calon Kapitan Besar, sudah tentu dia harus punya kharisma, keahlian dan sifat serta kepandaian yang menunjang untuk jabatan itu. Yang penting untuk jangka pendek adalah kondisi kesehatannya harus prima untuk menyunting sang putri.

Panitia perayaan perkawinan pun dibentuk dan mereka bekerja keras untuk merencanakan perkawinan secara besar-besaran. L dan orang tuanya juga mengadakan persiapan-persiapan. Pesta perkawinan akan diawali dengan pesta ‘maro-maro’ atau ‘maku-maku’, suatu tarian khas orang Seram, yaitu tarian pergaulan dan persaudaraan yang diiringi oleh kapata dan kabata, atau nyanyian-nyanyian rakyat yang menceritakan kisah-kisah tertentu. Acara maro-maro ini akan dilaksanakan selama tujuh hari, tujuh malam. Setiap malam, maro-maro berlangsung dengan meriahnya, orang dari berbagai jurusan berdatangan menghadirinya. Setiap malam, maro-maro berlangsung selama semalam suntuk dan putri RH menghadirinya sampai pagi hari. L juga menghadirinya, tetapi kadang-kadang ia pulang lebih awal karena orang tuanya berusaha agar kondisi kesehatannya tetap berada dalam keadaan sehat. Usaha itu dilandasi dengan pemahaman bahwa tetap saja dalam pesta-pesta seperti itu, ada orang-orang yang iri hati dan cemburu sehingga dapat mendatangkan niat-niat kurang baik. Niat-niat itu dapat diwujudkan dalam perangkap-perangkap yang kalau tidak hati-hati, akan menjebak diri L serta RH. L tidak mengikuti maro-maro sampai pagi hari, malahan pada siang hari tidak menghadiri pesta itu dengan alasan kurang sehat. Alasan kurang sehat itu kemudian menjadi bahan pergunjingan dan menuduh panitia berlaku tidak adil karena menjatuhkan pilihan pada orang yang sakit-sakitan.

Oleh karena L selalu menghindari jebakan dan perangkap para pesaingnya, maka mereka pun mengubah rencana dan menjadikan putri RH sebagai sasaran berikutnya. Pada malam terakhir pesta maro-maro, semua orang yang hadir bermaro-maro dengan asyiknya. Tifa dan gong berbunyi bersahut-sahutan dan sambung menyambung, mengiringi kapata dan kabata yang dilantunkan. Tuak dan sirih pinang serta penganan lain disuguhkan terus-menerus dengan tiada putusnya. Apalagi kapata yang dilantunkan adalah lirik yang meminta: Toti apapua maeyale malahano ooooo. Suasana dan situasi seperti inilah yang memudahkan perangkap atau jebakan dipasang. Para penjebak kemudian menggali lobang seperti liang lahat di sekitar tempat pesta maro-maro. Ketika tifa dan gong semakin keras ditabuh, orang-orang mulai mabuk dan lupa diri, mereka mulai menjalankan aksinya. Putri RH diajak menari dan bermiri-miri sambil maro-maro dengan asyiknya. Semua orang berlompat dan bergembira karena sang putri pun kelihatan gembira dan senang. Putri diajak menari mengarah ke lobang yang sudah digali itu dan dalam sekejap, dia sudah dijatuhkan ke dalam kolam itu dan pingsan. Pada waktu itulah, mereka menutup lobang itu sehingga sang putri pun hilang dalam pesta maro-maro yang dilaksanakan khusus untuk mengawali perkawinannya itu.

Pesta maro-maro berjalan sampai pagi tanpa ada yang menyadari bahwa putri RH telah ditimpa malapetaka. Para pembunuh dan pembuat makar merahasiakan perbuatannya sehingga tidak tercium. Ketika siang tiba, matahari memancarkan sinarnya dengan terik dan orang mulai kembali bekerja seperti biasa, barulah orang tua putri RH menyadari bahwa putri mereka hilang. Mereka mulai mencari-cari di mana sang putri berada, namun tidak ditemukan di semua tempat. Akhirnya, dibuatlah alarm dan gogompar agar semua orang keluar mencarinya, tetapi sia-sia belaka. Hal itu disebabkan karena lobang tempat putri RH dikubur telah rata terinjak-injak oleh orang-orang yang barmaro-maro dan berlompat-lompat di atasnya. Beberapa hari mereka mencari-cari tetapi tak kunjung bertemu. Begitu susah dan sedihnya orang tua sang putri. Berbagai mawe atau upaya mencari tahu yang dilakukan oleh para dukun dilakukan, tetapi para pelaku pun memiliki kemampuan perdukunan yang dapat menghilangkan jejak-jejak yang dapat ditelusuri oleh paranormal atau dukun orang tua sang putri.

Namun demikian, sepandai-pandainya menyimpan bangkai, pasti akan tercium juga. Bangkai gajah tak mungkin dapat ditutupi dengan niru. Pada suatu malam, Tuwale tidur dengan sedihnya dan bermimpi. Putri RH datang kepadanya dalam mimpi dan mengatakan kepadanya agar tidak mencarinya jauh-jauh. Orang-orang telah menyusahkan dan membunuhnya. Ia ditanam dan ditimbuni dengan tanah pada tempat pesta maro-maro diadakan. Ia meminta ayahnya menggali di situ, pasti jasadnya akan ditemukan.
Atas petunjuk itu, pagi-pagi sekali diadakan penggalian. Orang-orang bekerja untuk menggali dengan susah payah karena tanah penimbunan telah menjadi padat karena terinjak-injak orang yang bermaro-maro. Namun demikian, mereka bekerja dengan tekun sesuai dengan petunjuk yang ada dalam mimpi. Ketika matahari telah condong ke barat, putri HR pun ditemukan. Ia belum mati, namun sekarat. Berbagai usaha yang dilakukan untuk menolong nyawanya tidaklah berhasil dan sia-sia. Ia terlalu lama terbenam dalam tanah. Putri HR pun akhirnya meninggal. Orang tuanya sangat sedih, lebih dari itu, mereka sangat murka. Namun mereka dapat mengendalikan diri, menanti sampai putri HR dimakamkan dengan baik-baik. Acara pemakaman berjalan dengan pasawari yang sesuai dengan adat dan kepercayaan yang berlaku.

Setelah semua usai, Tuwale mulai mengadakan cakalele atau tarian perang dan diikuti oleh semua orang yang menaruh simpati kepadanya. Terjadilah pemberontakan di pusat Nunusaku oleh Tuwale dan kelompoknya. Pemberontakan itu dilanjutkan dengan keluarnya Tuwale dan semua orang yang bersimpati kepadanya dari Nunusaku.
Perjalanan keluar itu berjalan amat lamban karena sering terjadi perang antar kelompok untuk merebut daerah-daerah kekuasaan, dan hampir yang selalu terjadi adalah yang kuat menindas yang lemah.

Rombongan suku Alune berpencar ke adar Barat dan banyak di antara mereka meninggalkan Nusa Ina lewat pesisir Selatan kemudian menuju pulau-pulau Lease dan Ambon, juga menuju ke Buru, Manipa, Ambalau terus ke Utara di kepulauan Maluku Utara. Sebagian kecil juga menuju ke Utara dan Timur, sedangkan sebagian menyebar ke Seram Barat.

Rombongan suku Wemale, berpencar ke arah Timur, kemudian ke Utara. Ada juga yang ke pesisir Selatan dan meninggalkan pulau Seram. Sisanya menyebar juga di Seram Barat. Perpindahan keluar pulau Seram, banyak yang melalui aliran “wae le telu” atau “tiga batang air”, yaitu Tala, Eti dan Sapalewa menuju ke pulau-pulau Ambon, Lease, Buru, terus ke Maluku Utara dan Maluku Tenggara.


Sumber : http://tal4mbur4ng.blogspot.com/2009/01/rapia-hainuwela-asal-muasal-perpecahan.html

You Might Also Like

0 komentar