SUKU TOGUTIL, Suku Terasing di pedalaman Halmahera - Maluku Utara
06.07Bila mendengar kata “TOGUTIL”, maka bayangan yang muncul dalam pikiran semua orang di Ternate dan Maluku Utara pasti akan tertuju pada komunitas suku terasing yang hidup secara nomaden di pedalaman pulau Halmahera. Tapi mungkin lain halnya dengan masyarakat di luar provinsi muda ini, misalnya orang-orang di Sulawesi, Jawa, Kalimantan, Sumatera dsb, nama suku Togutil mungkin baru kali ini didengarnya. Bagi orang Ternate, kata “Togutil” sebagai sebuah istilah, itu identik dengan makna kata “primitif”, “keterbelakangan”, “kebodohan” “ketertinggalan” serta masih banyak lagi konotasi-konotasi yang bermakna serupa lainnya.
Dalam keseharian kehidupan masyarakat
di Maluku Utara yang hingga sekarang ini juga telah memasuki era digital
sebagaimana orang-orang di pulau Jawa, namun ternyata masih ada
saudara-saudaranya yang ada di pedalaman pulau Halmahera yang hidupnya
masih primitif dan terbelakang serta jauh dari sentuhan modernisasi.
Padahal negara ini sudah merdeka lebih dari 60 tahun yang lalu.
Suku Togutil adalah suku asli yang terasing di negerinya sendiri. Hal seperti ini juga pernah dikemukakan oleh Pengamat Budaya Djoko Su'ud Sukahar dalam tulisannya; Suku Asing & Terasing, detikNews, tanggal 21 Agustus 2008 yang menyentil bahwa; “Enampuluh
tiga tahun sudah kita merdeka. Kemerdekaan yang panjang itu masih
menyisakan penyesalan. Tak hanya karena taraf hidup rakyat yang tak
kunjung membaik, tapi juga masih banyaknya saudara kita yang hidup
terasing. Mereka asing bagi kita, dan kita asing bagi mereka, seperti
orang-orang Suku Togutil yang hidup di pedalaman pulau Halmahera”.
Walaupun mereka masih primitif karena pola hidup secara nomaden tanpa
merobah dan merusak alam, namun keberadaan mereka seperti itu telah
memberikan pelajaran berharga kepada kita semua dalam hal melestarikan
hutan. Seakan-akan mereka berpesan; janganlah sekali-kali merusak alam.
Seperti yang pernah saya jelaskan dalam artikel-artikel pada posting sebelumnya bahwa pada zaman Pleistochen
pulau Halmahera masih menyatu dengan pulau-pulau kecil lainnya yang ada
saat ini, seperti pulau; Morotai, Hiri, Ternate, Maitara, Tidore, Mare,
Moti, Makian, Kayoa, Bacan, Gebe dan sebagainya. Perubahan alam yang
terjadi selama ratusan ribu tahun dan pergeseran kulit bumi secara
evolusi telah membentuk pulau-pulau kecil. Halmahera adalah merupakan
pulau induk di kawasan ini, dan merupakan dataran tertua, selain pulau
Seram di Maluku Tengah.
Secara logis, karena pulau
Halmahera adalah pulau induk dan daratan tertua, maka dapat dipastikan
bahwa perkembangan kehidupan dan persebaran “manusia Maluku Utara”
juga tentu bermula dari daratan ini. Namun bukan itu yang menjadi
bahasan saya dalam tulisan ini. Pembahasan hanya terfokus pada
keberadaan sebuah komunitas yakni orang-orang suku Togutil yang masih
tersisa yang mengalami ketertinggalan dalam perkembangan sosio-kultural
yang disebabkan karena mereka terisolasi atau mengisolasikan diri dari
pergaulan dengan lingkungan manusia lainnya. Hidup mereka telah menyatu
dengan alam sehingga hutan rimba, sungai-sungai dan goa-goa di belantara
pedalaman pulau Halmahera menjadi rumah mereka.
Disadari atau tidak, sebagian
orang bisa menyimpulkan bahwa pernyataan tersebut di atas menunjukkan
bahwa manusia Maluku Utara yang sudah modern dan maju seperti sekarang
ini dahulunya adalah juga seperti “orang Togutil” ini.
Bila kita bijak, maka hal ini tidak lantas begitu saja langsung dibantah, karena jika kita mempelajari “Ilmu Anthropologi”
maka pasti kita memahami bahwa setiap bangsa atau suku mana saja di
muka bumi ini dalam perjalanannya pasti mengalami tahap-tahap
perkembangan yang demikian. Misalnya bangsa Kaukasoid
(orang Eropa) yang lebih dahulu maju dan telah menjadi manusia modern
seperti sekarang ini, dahulunya juga adalah suku primitif (Vicking) yang kehidupannya masih tergantung dengan pemberian alam (Nomad) seperti orang Tugutil ini.
Kembali kepada pembicaraan kita tentang “Suku Togutil”…
Catatan ilmiah tentang suku ini, pertama kali dikemukakan tahun 1929
yang berbentuk sebuah artikel pendek yang terdapat dalam buku; “De Ternate Archipel” Serie
Q, No.43 Ontleedn aan de memorie van overgave van den toenmaligen
Controleur van Tobelo, PJM Baden, van 26 Maret 1929, pag 401-404.
Saat ini banyak
keterangan-keterangan dari berbagai pihak dan masyarakat tentang
orang-orang suku Togutil ini sangat berbeda dan simpang siur antara satu
dengan yang lainnya. Semua itu benar, karena mereka tahu dan melihat
dalam kurun waktu dan ruang yang berbeda sehingga deskripsi yang lahir
tentang suku Togutil ini pun berbeda pula.
Di pedalaman pulau Halmahera, komunitas suku pengembara ini ditemui di beberapa kawasan. Di utara masih terdapat di pedalaman Tobelo, di tengah seperti terdapat di Dodaga, di pedalaman Kao, di pedalaman Wasilei dan agak ke selatan juga terdapat beberapa komunitas mereka di pedalaman Maba dan Buli. Setiap komunitas (kelompok) suku primitif ini berbeda antara satu dengan yang lainnya. Bahkan mereka saling berperang bila bertemu.
Namun demikian, bagi masyarakat Maluku Utara, masing-masing kelompok orang-orang Tugutil ini, semuanya disebut sebagai “Suku Togutil”
saja. Yang membedakan sebutan terhadap mereka adalah kawasan yang
menjadi tempat pengembaraan mereka, misalnya Togutil Tobelo, Togutil
Kao, Togutil Dodaga, Togutil Wasilei, Togutil Maba, dsb.
Usaha pemukiman terhadap
masyarakat terasing merupakan program utama pemerintah dalam usaha
membiasakan mereka hidup menetap dan bercocok tanam (bertani).
Menetap dengan pengharapan dapat meningkatkan kesejahteraan fisik dan
rohani. Usaha ini dimaksudkan agar mereka dapat secepatnya mencapai
taraf hidup yang sejajar dengan masyarakat Indonesia umumnya.
Atas pemikiran inilah, Pemerintah daerah di Maluku Utara pada tahun 1971 pernah membangun pemukiman (relokasi)
untuk orang-orang suku Togutil Dodaga di kecamatan Wasilei Halmahera
Tengah. Yang dimaksud dengan orang-orang Togutil Dodaga adalah
sekelompok orang suku Togutil yang berdiam di sekitar hutan dekat
Dodaga. Penambahan kata Dodaga di belakang nama golongan etnis ini
adalah agar dengan mudah dapat membedakannya dengan orang-orang suku
Togutil lain yang terdapat di kecamatan Wasilei, maupun di
kecamatan-kecamatan lain di pedalaman pulau Halmahera.
Beberapa saat setelah suku
Togutil Dodaga ini bermukim di tempat relokasi yang dibangun pemerintah,
mereka kembali lagi ke hutan dan hidup lagi menurut cara yang lama.
Peristiwa tersebut menimbulkan pertanyaan, apa sebab usaha ini gagal,
sedangkan usaha-usaha serupa berhasil di tempat lain, seperti Suku Naulu di pulau Seram, orang Dayak Bukit di Kalimantan, Suku Sakai di Sumatera dsb.
Masyarakat di Desa-Desa sekitar
mengatakan bahwa orang-orang Togutil ketika musim hujan tiba, merasa
terganggu dengan suara bising air hujan yang jatuh, karena atap tidak
terbuat dari dedaunan sehingga mereka ketakutan dan lari kembali lagi ke
hutan. Alasan lain mungkin karena mereka tidak terbiasa dengan ”sandang” dan “pangan” ala kita.
Gambaran rinci tentang pemukiman,
asal-usul dan kehidupan suku Togutil di pedalaman pulau Halmahera ini
sama sekali belum diketahui oleh dunia pengetahuan kita. Oleh karena itu
sangatlah sukar untuk memperoleh keterangan yang terperinci dan
terpercaya dari laporan-laporan yang ada tentang Halmahera tanpa
melakukan sendiri penelitian di lapangan.
Walaupun demikian, pada sekitar tahun 1979, Universitas Pattimura
Ambon pernah melakukan penelitian lapangan yang bersifat Eksplorasi
melalui pendekatan Anthropologi Sosial terhadap suku Togutil di
pedalaman Tobelo untuk mencari jawaban atas kegagalan usaha pemukiman
suku terasing ini, yang laporan penelitiannya ditulis oleh Mus J. Huliselan yakni; Masalah
Pemukiman Kembali Suku Bangsa Togutil di Kecamatan Wasilei Halmahera
Tengah Sebuah Laporan Pejajagan, Universitas Patimura, Ambon, 1980.
Saya mengutip beberapa point
hasil penelitian tersebut, yang menyebutkan bahwa; Menurut hasil
penelitian ini, jika dilihat dari sistem pemukiman orang-orang Togutil
Wasilei dapat dibagi atas 3 kelompok, yaitu :
1. Mereka yang mengembara di hutan-hutan dengan goa-goa dengan rumah-rumah darurat sebagai tempat bernaung.
2. Mereka yang berpindah-pindah dalam lokasi tertentu dengan sistem perumahan yang sudah teratur (di Toboino dan Tutuling).
3. Mereka yang menetap pada suatu lokasi dengan pola pemukiman yang telah teratur (di Paraino).
Penelitian ini dilakukan
terhadap kelompok kedua dan ketiga. Kelompok pertama adalah pengembara
yang dinamai oleh kelompok kedua dan ketiga serta penduduk kecamatan
Wasilei sebagai “Orang Biri-Biri”. Mereka ini sukar ditemui dan kecurigaan mereka terhadap orang luar sangat besar.
Orang Biri-Biri hidup selalu bermusuhan dengan orang-orang Togutil Dodaga (kelompok kedua dan ketiga).
Setiap pertemuan antar kedua golongan ini pasti diselesaikan dengan
perkelahian. Kelompok kedua dan ketiga menganggap masing-masing
seketurunan atau segolongan, sedangkan kedua golongan ini sama sekali
tidak mengakui orang Biri-Biri sebagai orang yang segolongan dengan
mereka.
Orang Togutil Dodaga sebagai salah satu sub-suku Tobelo Dalam, bermukim pada 3 lokasi yang dipilih oleh mereka sendiri di dekat Dodaga, sekitar 30 km dari ibukota Kecamatan Wasilei (Lolobata).
Sebagian dari mereka adalah orang suku Togutil yang pernah dimukimkan
pada tahun 1971. Ketiga lokasi tersebut adalah; Paraino, Toboino dan
Tutuling seperti yang sebutkan dalam hasil penelitian di atas. Orang
Togutil Dodaga berasal dari dua tempat, yaitu :
1. Daerah Kao , yakni dari Biang, Gamlaha & Kao sendiri.
2. Daerah Tobelo, yakni dari Kupa-kupa, Ufa & Efi-efi.
Dilihat dari bahasa yang digunakan
sesuai hasil penelitian, kelihatannya lebih besar pengaruh bahasa Tobelo
Boeng terhadap suku ini. Orang Togutil Dodaga sebagian besar berasal
dari daerah Kao. Mereka hanya menguasai dan mengerti satu bahasa yaitu
bahasa Tobelo walaupun mereka sejak lama bertempat tinggal di lingkungan
yang mayoritas berbahasa Maba.
Orang-orang Togutil Dodaga telah
menutup dirinya untuk berhubungan dengan dunia luar sampai kira-kira
tahun 1961, setelah itu baru terdapat kontak antar mereka dengan
penduduk lain di sekitar Halmahera bagian tengah. Sifat ketertutupan ini
dapat dimengerti karena mereka adalah pelarian.
Perpindahan nenek moyang suku Togutil Dodaga dari daerah asalnya adalah karena menghindari kewajiban pembayaran Balahitongi
(Pajak) yang dikenakan oleh Pemerintah Hindia Belanda jaman dahulu
kepada nenek moyang mereka. Kapan dan bagaimana prosesnya berlangsung
tidak diketahui secara pasti.
Dalam buku “De Ternate Archipel”
(1929, hal 401-402) secara jelas dikemukakan bahwa; Pada tahun 1927
untuk pertama kalinya orang-orang Togutil dikenakan Balasting (pajak)
sebesar 1,20 Gulden oleh Pemerintah Hindia Belanda. Dan sejak tahun 1929
setiap tahun ditambah dengan 0,20 Gulden. Apabila kedua keterangan ini
dibandingkan, maka dapat dikemukakan dua argument, yakni :
1. Apabila benar bahwa yang
melakukan migrasi ke hurtan rimba Dodaga adalah orang-orang Togutil,
maka mereka baru melakukan hal itu sesudah tahun 1927 karena adanya
pungutan Balasting.
2.
Tapi apabila yang melakukan migrasi itu adalah orang-orang Tobelo yang
melarikan diri karena Balasting, maka migrasi itu telah dilakukan jauh
sebelum tahun 1927.
Dengan demikian sulit dibedakan apakah orang Togutil Dodaga adalah orang-orang (TobeloBoeng)
atau orang-orang Togutil asli. Sampai saat ini tidak ada satu
keteranganpun yang memberi petunjuk jelas tentang perbedaan tersebut.
Dan rupanya, hingga saat ini pengertian “Orang Togutil” selama ini telah dipakai untuk penamaan semua orang pengembara yang hidup di hutan pedalaman pulau Halmahera di Maluku Utara.
Para peneliti dari Universitas
Patimura yang melakukan penelitian tersebut, menyimpulkan bahwa adanya
penolakan orang-orang Togutil Dodaga untuk menerima anggapan bahwa
mereka termasuk suku bangsa Togutil dan bahklan mereka menunjuk orang
lain (orang Biri-Biri) sebagai orang Togutil, hal ini mungkin sesuai kenyataan bahwa mereka itu adalah orang-orang Tobelo (Boeng)
yang dahulu melarikan diri ke hutan. Kenyataan ini ditunjang oleh
penunjukan tempat asal mereka yaitu pada Desa-Desa asal Tobelo dan Kao
yang bukan tempat kediaman suku Togutil asli.
Dengan demikian, maka pasti timbul pertanyaan; Siapa sebenarnya suku Togutil itu..?
Meskipun persoalan ini belum dapat terpecahkan hingga saat ini orang
mengenal Suku Togutil di pedalaman hutan Halmahera ada dua, yaitu;
1) Orang Togutil Dodaga yang sudah bisa diajak relokasi oleh Pemerintah, dan
2)
Orang Togutil Asli yang masih hidup di hutan pedalaman yang masih
menggunakan pola hidup dan ketergantungan hidup dari pemberian alam (nomaden) dan belum mengenal sistem bercocok tanam serta kehidupan yang belum tersentuh oleh dunia luar.
HUTAN SUNGAI & GOA SEBAGAI RUMAH SUKU TOGUTIL
Orang suku Togutil ada yang bermukim
di daerah pantai namun sebagian besar berada di hutan pedalaman yang ada
sungai yang menjadi sumber kehidupan mereka. Mereka tidak mengenal
sistem pemerintahan dan kekuasaan yang mengikat. Mereka juga tidak
mengenal sistem bercocok taman dan pemukiman. Kebanyakan dari mereka
mengembara di hutan-hutan tertentu dengan gua-gua atau rumah darurat
sebagai tempat bernaung yang dianggap dunianya. Mereka hidup bergantung
pada alam. Dalam berpakaian, mereka masih menggunakan “cawat” yang terbuat dari daun dan kulit kayu, tanpa mengenakan baju.
Orang-orang suku Togutil asli
yang hidup di tengah rimba Halmahera kerap dihujani prasangka;
terbelakang dan membenci orang asing. Mereka menggunakan anjing sebagai
tindakan awal untuk menghalau jika ada orang asing memasuki wilayah
mereka.
Karena hutan adalah rumah bagi
orang-orang suku Togutil, maka pohon dianggap sebagai sumber kelahiran
generasi baru. Di samping pelekatan unsur magis tersebut, pohon juga
bisa menjadi simbol kelahiran (reproduksi genetika). Saya mengutip beberapa catatan pada hasil Lomba YPHL (2008) dengan topik; Pohon Sebagai Simbol Kelahiran, Mempertimbangkan Pemahaman Lokal tentang Pohon dalam Upaya Pemulihan Kerusakan Hutan, yang ditulis oleh Anthon Ngarbingan dalam www.kabarindonesia.com
tanggal 31 Oktober 2008, mengemukakan bahwa ada beberapa kelompok
masyarakat seperti suku Togutil di daerah Baborino, Buli, Halmahera
Timur – Provinsi Maluku Utara, yang menggunakan pohon sebagai lambang
kelahiran seorang bayi di tengah-tengah keluarga. Ketika seorang bayi
lahir, maka salah satu anggota keluarga harus menanam satu pohon, yang
menyimbolkan hadirnya generasi baru di tengah-tengah keluarga.
Hal-hal seperti ini yang menyebabkan
orang-orang Togutil bisa bertahan dalam hutan, dengan tanpa harus
merusak hutan. Padahal, pola hidup mereka berpindah-pindah tempat.
Praktek semacam ini juga dilakukan oleh beberapa keluarga yang tinggal
di Tobelo, Halmahera Utara. Mereka sering menanam satu buah pohon
sebagai simbol kehadiran seorang bayi ditengah-tengah keluarga.
Orang-orang Togutil menganggap bahwa
kaitan antara anak yang dilahirkan dengan pohon yang ditanam adalah
kehidupan mereka sebenarnya akan juga seperti pohon itu, dengan mana
akan tumbuh besar dan menghasilkan sesuatu yang bisa berguna bagi semua
orang.
Orang-orang suku Togutil sampai saat
ini belum mengenal sistem bertani, sistem mata pencaharian mereka adalah
mengumpulkan hasil hutan dan berburu dalam jangka waktu tertentu,
kemudian hasil yang didapat dimakan bersama. Selama bahan makanan masih
ada, para anggota keluarga luas tidak melakukan kegiatan mencari makan.
Mereka akan kembali melakukan pengumpulan makanan dan berburu apabila
cadangan makanan hampir habis. Orang suku Togutil biasanya mendapatkan
makanan langsung dari pohonnya, seperti; buah-buahan dan umbi-umbian.
Cara berburu suku Tugutil adalah berkelompok (semua orang laki-laki dari anggota keluarga luas) dengan menggunakan anjing. Alat-alat berburu yang digunakan adalah tombak, parang dan panah disertai tuba (racun).
Dalam usaha menagkap buruan,mereka juga mengenal penggunaan jerat.
Orang-orang Togutil mahir membuat jerat dari seutas rotan dan tanaman
muda yang lentur melengkung untuk menjerat. Jenis binatang yang diburu
adalah babi, rusa, ayam hutan, burung, kuskus, ular, biawak dan
kelelawar.
Orang-orang suku Togutil dalam usaha mengumpulkan makanan, melakukan secara berkelompok, misalnya meramu Sagu, atau sendiri-sendiri seperti mengumpul umbi-umbian (Bete, Mangere & Gihuku)
dan buah-buahan. Karena mereka berdiam di dekat aliran sungai, maka
menangkap ikan juga merupakan mata pencaharian pokok. Seruas bambu
disulap jadi panci penanak nasi atau ramuan obat, dan selembar manggar,
daun lontar muda dirangkai jadi takir, cangkir alami. Getah damar dari
hibum, kenari raksasa sebesar bola tenis, empat kali kenari biasa,
bagian kulitnya dipenggal, dibakar, nyalanya seperti lilin penerang
malam hari.
Bagi orang-orang suku Togutil,
anjing merupakan harta yang paling tinggi. Seorang Togutil tanpa anjing
akan lumpuh dalam pekerjaan dan tidak bergairah. Hal ini mungkin karena
peranan anjing begitu besar dalam kehidupan seorang Togutil di hutan,
baik dalm berburu maupun mencari nafkah. Kemanapun orang suku Togutil
pergi, ia akan disertai anjingnya. Karena itulah tidak heran bila seekor
anjing dapat menimbulkan permasalahan persengketaan antar perorangan
maupun antar kelompok yang berujung pada perang kecil. Masalah
bunuh-membunuh, keretakan hubungan antar kerabat dan antar kelompok bisa
saja dapat timbul akibat seekor anjing.
Informasi lain tentang suku yang nyaris telanjang (berpakaian cawat) ini amat beragam. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia (LP3ES, 1996) menyebutnya sebagai “Suku Togutil”
yang tinggal di hutan Dodaga dan Tutuling, Kecamatan Wasile, Halmahera
Tengah, Maluku Utara. Menurut Ensiklopedi ini, populasi orang Togutil
saat itu 600 orang. Sumber lain menyebutnya “Oho Ngana Manyawa” yang bermakna orang hutan atau orang rimba yang suka membunuh (menghabisil nyawa) orang asing.
Dalam tulisan Christantiowati di Majalah Intisari Edisi September 2008, halaman 124-130 menulis bahwa Rachma Tri Widuri dari Lembaga Pelestarian Burung Indonesia, dan Atiti Katango,
jagawana dari Taman Nasional (TN) Aketajawe, yang mengantar Tim ini ke
tepi Sungai Tayawi, dekat Kampung Kumu, hanya 15 menit bermobil dan Desa
Bale, mengemukakan bahwa warga Desa Bale, Kecamatan Oba, Kota Tidore
Kepulauan, Provinsi Maluku Utara berceritera kepada mereka bahwa
orang-orang suku Togutil itu dulu warga yang "lari pajak" (tak mau bayar
pajak), jadi lari atau diusir Belanda masuk hutan. Mereka bisa ditemui
pula di sekitar Desa Tutur, Totodoku, Oboi, Tatam, Lili, Mabulan, dan
Baken. Mereka disebut Tobelo Dalam atau Tobelo Hutan, untuk membedakan
dari Tobaru, Tobelo Kampung atau yang sudah ke kota.
Suku Togutil yang kita kenal
hingga saat ini, suatu saat nanti siapa sangka mungkin hanya tinggal
kenangan. Kini populasi suku ini semakin berkurang. Hal ini bisa saja
karena kondisi kebiasaan hidup mereka yang tidak teratur yang
mengakibatkan jumlah kelahiran tidak sebanding dengan kematian dari
anggota suku ini. Hal lain adalah tabiat mereka yang takut melihat
manusia lain dan ini menutup kesempatan mereka mendapatkan makanan pada
musim sulit sehingga pada akhirnya mempengaruhi perkembangan populasi
dan reproduksi genetika mereka. Semoga suku ini tidak mengikuti jejak Suku Moro di Halmahera utara yang hilang misterius (gaib) di abad sebelumnya. Semoga saja “National Geographic Indonesia” berminat melakukan eksplorasi ke tempat ini……!
Satu hal yang paling berharga yang telah ditunjukkan oleh suku Togutil yang kita anggap “kurang” beradab ini telah menjadi pelajaran untuk kita semua, yakni; “Peliharalah alam, lestarikanlah hutan & jangan sekali-kali merusaknya”. Sekali lagi, mereka membuktikan bahwa kita yang merasa diri si "beradab" ini yang harus belajar kearifan dan keramahan dari mereka. Saya yakin anda semua pasti setuju dengan ini…! (@.Busranto Abdullatif Doa)
Penulis : Busranto Latif Doa
Sumber Foto :
1) Malik Latif, PT. Aneka Tambang Geomin Buli
2) Disbudpar Kab. Haltim
0 komentar