Kesultanan Loloda ( Gerbang Utara Kepulauan Rempah-rempah)

12.11


(Disusun oleh Omar Mohtar, MAhasiswa Ilmu Sejarah UI)
Kesultanan Loloda terletak di Halmahera Utara, dan diyakini sebagai salah satu kerajaan tertua di Maluku. Tidak dijelaskan secara jelas dalam sumber tertulis kapan Kerajaan Loloda ini terbentuk. Sejarawan Paramita Abdurrahman mencatat bahwa menurut sumber dari Negara Krtagama dari zaman Majapahit sebagaimana ditulis oleh Mpu Prapanca, menyebutkan bahwa pada masa paling awal telah berkuasa seorang Kolano (raja) di Loloda, Halmahera. Selain itu ada beberapa pendapat lain yang menjelaskan tentang berdirinya Kesultanan Loloda yaitu :
  1. Kerajaan-kerajaan di Maluku termasuk Kesultanan Loloda dan Kesultanan Moro berdiri pada abad ke-13. Bahkan disebutkan juga bahwa dua kerajaan ini adalah yang tertua di Halmahera (Pendapat Abdul Hamid Hasan dalam buku “Aroma Sejarah dan Budaya Ternate).
  2. Dalam Kroniek Van Het Rijk Batjan (Kronik Kerajaan Bacan) sebagaimana dutulis oleh Coolchaas, dikisahkan bahwa Kesultanan Loloda didirikan oleh Kaicil Komalo Besy, putera Sultan Bacan yang pertama, Said Muhammad Baqir Bin Jafar Shadik, yang bergelar Sri Maharaja Yang Bertahta Di Bukit Sigara dengan perkawinannya dengan Boki Topowo dari Galela.
  3. Menurut cerita masyarakat Loloda sekarang, Kesultanan Loloda didirikan oleh seorang tokoh legendaris yang datang dari Ternate via Galela. Tokoh ini berama Kolano Tolo alias Kolano Usman Malamo. Peristiwa kedatangan Raja Loloda ini berkaitan dengan meletusnya Gunung Tarakani di Galela (cerita lain menyebut Gunung Mamuya) yang kemudian mendorong tokoh ini menyingkir ke Loloda. Peristiwa inilah yang kemudian menjadi cikal-bakal nama Loloda yang dalam bahasa Galela disebut loda yang berarti pindah atau hijrah. Sebelumnya nama Loloda adalah Jiko Mabirahi.
            Pada saat dilakukan pertemuan Moti pada tahun 1322 yang diprakarsai Sida Arif Malamo  (sultan Tidore) untuk membahas ketegangan yang saat itu terjadi karena kecemburuan dari rakyat Kesultanan Tidore, Bacan, dan Jailolo terhadap Kesultanan Ternate yang bertambah makmur. Kesultanan Loloda mengirimkan wakilnya untuk turut hadir dalam pertemuan yang diakhiri dengan terbentuknya “Persekutuan Moti” itu, namun karena terhalang oleh badai angin, perwakilan Loloda terpaksa mendarat di Dufa-Dufa, Ternate, dan gagal mengikuti pertemuan Moti. Kesultanan Loloda kemudian menjadi bulan-bulanan politik ekspansi Ternate dan pengaruh politik Kesultanan Loloda mulai tidak terlalu signifikan di daerah Maluku Utara saat itu.
            Ketika kedatangan bangsa Eropa (Portugis) awal abad 16, Kesultanan Loloda sudah tidak berperan dan tidak berpengaruh lagi karena dianekasasi oleh Kesultanan Ternate. Kepentingan Portugis di Halmahera Utara hanya ada di kawasan Kerajaan
Kesultanan Loloda terletak di Halmahera Utara, dan diyakini sebagai salah satu kerajaan tertua di Maluku. Tidak dijelaskan secara jelas dalam sumber tertulis kapan Kerajaan Loloda ini terbentuk. Sejarawan Paramita Abdurrahman mencatat bahwa menurut sumber dari Negara Krtagama dari zaman Majapahit sebagaimana ditulis oleh Mpu Prapanca, menyebutkan bahwa pada masa paling awal telah berkuasa seorang Kolano (raja) di Loloda, Halmahera. Selain itu ada beberapa pendapat lain yang menjelaskan tentang berdirinya Kesultanan Loloda yaitu :
  1. Kerajaan-kerajaan di Maluku termasuk Kesultanan Loloda dan Kesultanan Moro berdiri pada abad ke-13. Bahkan disebutkan juga bahwa dua kerajaan ini adalah yang tertua di Halmahera (Pendapat Abdul Hamid Hasan dalam buku “Aroma Sejarah dan Budaya Ternate).
  2. Dalam Kroniek Van Het Rijk Batjan (Kronik Kerajaan Bacan) sebagaimana dutulis oleh Coolchaas, dikisahkan bahwa Kesultanan Loloda didirikan oleh Kaicil Komalo Besy, putera Sultan Bacan yang pertama, Said Muhammad Baqir Bin Jafar Shadik, yang bergelar Sri Maharaja Yang Bertahta Di Bukit Sigara dengan perkawinannya dengan Boki Topowo dari Galela.
  3. Menurut cerita masyarakat Loloda sekarang, Kesultanan Loloda didirikan oleh seorang tokoh legendaris yang datang dari Ternate via Galela. Tokoh ini berama Kolano Tolo alias Kolano Usman Malamo. Peristiwa kedatangan Raja Loloda ini berkaitan dengan meletusnya Gunung Tarakani di Galela (cerita lain menyebut Gunung Mamuya) yang kemudian mendorong tokoh ini menyingkir ke Loloda. Peristiwa inilah yang kemudian menjadi cikal-bakal nama Loloda yang dalam bahasa Galela disebut loda yang berarti pindah atau hijrah. Sebelumnya nama Loloda adalah Jiko Mabirahi.
            Pada saat dilakukan pertemuan Moti pada tahun 1322 yang diprakarsai Sida Arif Malamo  (sultan Tidore) untuk membahas ketegangan yang saat itu terjadi karena kecemburuan dari rakyat Kesultanan Tidore, Bacan, dan Jailolo terhadap Kesultanan Ternate yang bertambah makmur. Kesultanan Loloda mengirimkan wakilnya untuk turut hadir dalam pertemuan yang diakhiri dengan terbentuknya “Persekutuan Moti” itu, namun karena terhalang oleh badai angin, perwakilan Loloda terpaksa mendarat di Dufa-Dufa, Ternate, dan gagal mengikuti pertemuan Moti. Kesultanan Loloda kemudian menjadi bulan-bulanan politik ekspansi Ternate dan pengaruh politik Kesultanan Loloda mulai tidak terlalu signifikan di daerah Maluku Utara saat itu.
            Ketika kedatangan bangsa Eropa (Portugis) awal abad 16, Kesultanan Loloda sudah tidak berperan dan tidak berpengaruh lagi karena dianekasasi oleh Kesultanan Ternate. Kepentingan Portugis di Halmahera Utara hanya ada di kawasan Kerajaan Moro yang terletak di timur Halmahera. Kerajaan Moro sendiri kemudian terbagi menjadi dua yaitu Moro-Tia (Moro daratan) dan Moro-Tai (Moro lautan). Kerajaan Moro kemudian juga menerima ajaran Katolik yang diawali dengan pembaptisan Raja Moro oleh utusan Gubernur Trisao de Aride yang segera diikuti oleh sebagian rakyatnya di Mamuya dan sultan berganti nama menjadi Don Joao de Mamuya. Namun, saat Portugis berhasil diusir keluar Maluku oleh Sultan Babullah dari Ternate, Kerajaan Moro kemudian dianekasasi untuk menjadi bagian dari wilayah Kesultanan Ternate. Hal itu mengakhiri riwayat Kerajaan Moro, sedangkan Kesultanan Loloda meskipun diakui oleh Ternate sebagai wilayahnya dan kesultanan yang bersifat semi-independen tetap ada karena Kesultanan Loloda berkedudukan sebagai Ngara Mabeno (Dinding Pintu) yang berfungsi sebagai penjaga Pintu dari Utara.
            Pada abad ke 18, Kesultanan Loloda statusnya disetarakan dengan distrik, seperti yang telah terjadi pada Kesultanan Jailolo. Sedangkan Kesultanan di Maluku Utara lainnya seperti Ternate, Tidore, dan Bacan tetap menjadi sebuah Kesultanan karena mempunyai hubungan dengan VOC yang menguasai monopoli rempah-rempah. Meskipun tingkatnya disetarakan dengan distrik seperti Galalea, Tobelo, dan Kau, penguasa daerah Loloda tidak disebut dengan Sangaji, namun tetap disebut dengan sebutan untuk penguasa sebuah negara, yaitu Kolano Loloda. Pengakuan tentang masih berdirinya Kesultanan Loloda disampaikan secara tidak langsung oleh Sultan Nuku yang kembali membangun Kerajaan Jailolo dengan mengangkat Muhammad Arif Billa sebagai Sultan Jailolo. Dalam suatu surat Sultan Nuku kepada Gezaghebber Ternate menjelaskan bahwa pengangkatan Raja Jailolo itu juga didukung oleh Raja Loloda.
            Dalam Surat Gezaghebber Ternate tertanggal 8 September 1808, disebutkan bahwa kepala distrik Loloda yang selama ini dianggap sebagai distrik ternyata memiliki struktur pemerintahan sebagaimana kerajaan-kerajaan lain seperti Ternate. Penguasa Loloda tetap memakai nama Kolano Loloda dan mempunyai Bobato Madopolo yang lengkap yang terdiri dari Jogugu, Kapita Laut, Hakim sampai pada Sowohi dan Jabatan-jabatan dibawah lainya. Kerajaan Loloda masih berdiri sampai abad 19, namun pamornya kalah oleh tiga kerajaan besar yang ada di Maluku Utara. Kesultanan Loloda baru berakhir pada abad ke 20 tepatnya pada tahun 1908. Peristiwa yang menyebabkan Kesultanan Loloda jatuh adalah adanya pergolakan politik internal kerajaan dan adanya pengaruh dari pemerintah Hindia-Belanda.
Ketika Kolano Sunia wafat pada awal abad ke-20 ini, terjadi perebutan Tahta Kolano Loloda oleh empat orang Kaicil (Jongofa) yakni Jongofa Arafane, Jongofa Syamsudin, Jongofa Nasu dimana ketiganya merupakan putera dari Kolano Sunia dan Jongofa Koyoa yang merupakan putera dari Kapita Lau Dumba. Dalam perebutan ini, Jongofa Syamsuddin berhasil menduduki Tahta Kolano Loloda atas keinginan para Bobato dan pertimbangan Kesultanan Ternate maupun Belanda. Sementara Jongofa Arafane direstui sebagai Kapita Lau, Jongofa Nasu diberi penghormatan sebagai Kapita Lau Majojo (Kapita Laut Muda). Sementara Kayoa hanya berhak menyandang gelar Jongofa atau Kaicil. Karena tidak merasa puas dengan kedudukannya, Koyoa pun kemudian memutuskan untuk tidak bergabung dengan keluarga Istana. Ketika dilakukan penagihan balasting oleh pegawai utusan Belanda di Loloda, Kayoa mengajukan protes terhadap Kolano Syamsuddin karena dianggap tidak bijaksana menjadi seorang Kolano. Ia membiarkan pihak Belanda memungut pajak secara semena-mena terhadap rakyat. Menurut Kayoa, pembayaran balasting atau pajak mesti diserahkan oleh rakyat kepada pihak kerajaan bukan kepada Belanda .
            Aksi Kayoa ini diekspresikan dengan memprovokasi warga untuk menjatuhkan kewibawaan Kolano Syamsuddin. Ketika utusan/mantri Pajak Belanda sedang berada di dalam Keraton Loloda, seorang Kapita dari Soa Laba yang bernama Sikuru dengan dua rekannya Bagina dan Tasa dari Soa Bakun mendatangi Keraton dan membunuh Mantri Pajak Belanda tersebut di hadapan Kolano Syamsuddin dan Joboki Habiba sebagai bentuk protes terhadap Kolano Syamsuddin. Kapita Sikuru, Bagina dan Tasa adalah pesuruh Kaicil Kayoa.
            Akibat pembunuhan terhadap Mantri Pajak Belanda itu, menimbulkan amarah pihak Belanda karena dianggap menentang kebijakan Pemerintah Hindia Belanda. Belanda pun kemudian mendatangkan aparat keamanannya untuk meredam aksi yang dilakukan oleh tiga warga Loloda tersebut. Akan tetapi kedatangan aparat Belanda di Loloda tersebut sempat dihadang oleh Kapita Sikuru dari Soa Laba dan sekelompok masyarakat yang telah disiapkan oleh Kaicil Kayoa. Perlawanan ini oleh masyarakat Loloda dikenang sebagai peristiwa Perang Laba (Gogoru Laba) tahun 1908.
            Perlawanan terhadap Belanda tersebut, mengakibatkan Kolano Syamsuddin diminta untuk mempertanggungjawabakan aksi warganya. Ia kemudian dibawa ke Ternate bersama permaisurinya Joboki Habiba dan anak-anaknya. Karena tidak dapat mempertanggung jawabkan aksi yang dilakukan oleh warganya, Kolano Syamsuddin pun kemudian tidak diperkenankan kembali ke Loloda. Ia sempat dibawa ke Jawa dan baru diperkenankan kembali ke Ternate pada tahun 1915. Sementara Permaisurinya dan anak-anaknya tetap berada di Ternate. Joboki Habiba wafat pada tahun 1912 dan Kolano Syamsuddin wafat pada tahun 1915. Keadaan ini menggambarkan bahwa Kolano Syamsuddin wafat setelah dikembalikan oleh Belanda dari pengasingan di Pulau Jawa. Setelah Kolano Syamsuddin diansingkan, secara otomatis kekuasaan Kerajaan Loloda pun berakhir dan Kerajaan Loloda berada di bawah kekuasaan Kerajaan Ternate.

Sumber Referensi :
Amal, Adnan, M., Kepulauan Rempah-Rempah Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250-1950. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2010.
http://www.halmaherautara.com/artl/105/loloda,-kerajaan-kelima-maluku-utara
http://www.halmaherautara.com/artl/87/loloda,-toma-ngara-ma-beno
www.halmaherautara.com/images/artikel/87_1.jpg&imgrefurl=http://www.halmaherautara.com/artl/87/loloda,-toma-ngara-ma-beno&usg=__cC-sm5Z6_6Ir8mgB9lXBGC3zPzk=&h=318&w=475&sz=107&hl=id&start=7&zoom=1&um=1&itbs=1&tbnid=3JqjSmSWoh-4WM:&tbnh=86&tbnw=129&prev=/images%3Fq%3Dkerajaan%2Bloloda%26um%3D1%26hl%3Did%26sa%3DG%26biw%3D1280%26bih%3D702%26tbs%3Disch:1&ei=PAFtTd2HCMmrcb3suawF

You Might Also Like

0 komentar